Batik lasem
Sejarah Batik Tulis Lasem
Batik telah ada pada masa kepemimpinan Bhre Lasem I (1350- 1375). Nurhajarini dalam Alkuturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya (Kurun Niaga-Sekarang) (2015) menulis, pada masa itu batik sudah menjadi pakaian bangsawan di wilayah Lasem. Secara pribadi Bhre Lasem mungkin memiliki pembatik sendiri, serta mempekerjakan tenaga pembatik yang terampil. Hal ini terlihat penggunaan motif batik pada candi dan patung di Lasem yang berasal dari masa Majapahit.
Masuknya budaya Tionghoa
Sementara, perkembangan batik Lasem yang melibatkan etnis Tionghoa terkait dengan pendaratan perjalanan muhibah ketiga armada Dinasti Ming di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho di Tuban, dekat Lasem pada 1335 Saka (1413 Masehi).
Menurut William Kwan Hwie Liong dalam Eksplorasi Sejarah Batik Lasem (2010), salah seorang nahkoda kapal dari armada tersebut, Beretnis Champa, bernama Bi Nang Un tertarik menetap di Lasem. Atas izin Cheng Ho, Bi Nang Un pulang ke Champa untuk menjemput keluarganya. Setahun kemudian, Bi Nang Un datang kembali ke Lasem bersama istrinya yang bernama Na Li Ni, anak perempuannya Bi Nang Ti, anak lak-laki Bi Nang Na, serta kerabat dari Champa. Mereka menetap di Desa Jolotundo atas hadiah Adipati Lasem Wijayabadra. Bi Nang Ti yang kemudian hari menikah dengan Adipati Badranala inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai perintis perbatikan di Lasem.
Bi Nang Ti dan ibunya Na Li Ni mengajari penduduk sekitar keterampilan membatik. Ia juga mengajari kreasi pemaduan motif bernuansa Tiongkok dengan motif Jawa. Astaufi Hepi Perdana dalam Pola Batik Lasem Pasca Penetapan UNESCO tentang Batik Tahun 2009 menyatakan Na Li Ni menyusupkan motif Burung Hong, Liong, Bunga Seruni, Banji, dan Mata Uang Kepeng dengan warna merah darah ayam khas Tionghoa dalam batik. Karena ciri khas yang unik ini, batik tulis Lasem mendapat tempat penting di dunia perdagangan. Pedagang antarpulau dengan menggunakan kapal kemudian mengirim batik tulis Lasem ke seluruh wilayah Nusantara.
Kejayaan batik Lasem berlangsung hingga 1950. Pada tahun tersebut terdapat sekitar 140 pengusaha batik. Penelitian Institut Pendidikan Indonesia (IPI) menyebutkan, motif dan warna batik Lasem, yang didominasi warna merah, merupakan pertautan budaya Tionghoa dan budaya Jawa. Hingga 1970-an, produksi batik Lasem masih termasuk enam besar di Indonesia, selain Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, dan Cirebon. William menyebutkan, pemasaran batik Lasem pada kurun waktu tersebut tidak hanya di Jawa, melainkan juga merambah ke Sumatera, Bali, Sulawesi, Semenanjung Malaka (Pulau Penang, Johor, dan Singapura), wilayah Asia Timur (terutama Jepang), bahkan Suriname. “Suriname malah termasuk yang terbanyak,”
Pengaruh Orde Baru
Perubahan politik dan kebijakan perdagangan pasca Orde Baru berkuasa berpengaruh pada kejayaan batik Lasem. Setelah 1970, Pemerintah Indonesia mulai melakukan kerja sama perdagangan dengan negara asing yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku batik Lasem mengalami kenaikan. Sementara, konsumen juga mengalami perubahan selera yang tak cepat diantisipasi pengrajin batik Lasem. Pasar yang dulu sampai ke Sumatera Barat (khususnya motif Lok Can) dan Suriname berkurang drastis. Praktis, pemakai kain batik Lasem tinggal para perempuan Tionghoa berusia lanjut. Pada 1997 terjadi krisis moneter yang menyebabkan banyak pengusaha batik Lasem gulung tikar. Pada 2004, batik Lasem mulai bangkit kembali. Dan, bersinar lagi ketika ada polemik klaim batik sebagai budaya Malaysia.
Hari Batik Nasional
Momentum titik balik terjadi pada 2009. Setelah melalui proses yang panjang, tepat pada 2 Oktober 2009, Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusian untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpiece of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity). Penetapan tersebut dilakukan karena teknik, simbolisme, dan budaya terkait batik dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia. Tak lama berselang, pada 17 November 2009 Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional.
Pengakuan UNESCO dan penetapan Hari Batik Nasional tersebut berhasil mengangkat batik Lasem dari keterpurukan. Berbagai kalangan mulai menaruh perhatian lebih terhadap batik. Berbagai event pameran dan pemasaran ramai digelar. Orang-orang dari sejumlah daerah juga berburu batik hingga ke Lasem. Bahkan ada yang menjadi agen penjualan di Jakarta, Bogor, hingga Papua. Banyak perusahaan mewajibkan karyawan mereka menggunakan seragam batik pada hari-hari tertentu. Para ahli, akademisi, praktisi, dan pencinta batik Lasem melakukan penelitian, analisis, dokumentasi, pengarsipan, lokakarya, atau seminar baik di tingkat lokal, provinsi, nasional, maupun internasional.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Rembang sangat aktif dalam memfasilitasi dan mendorong perkembangan industri batik tulis di Lasem. Berbagai fasilitas dan dukungan diberikan, dari permodalan hingga pelatihan-pelatihan di tingkat pengrajin. Bupati Rembang kala itu (2009) Moch Salim bahkan memasukkan batik tulis Lasem dalam kurikulum sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah menengah sebagai mata pelajaran muatan lokal yang sampai sekarang masih dipertahankan di Rembang. Pada saat itu, desa wisata batik juga mulai dicanangkan membentang dari Desa Babagan hingga Desa Jeruk yang memang sudah lama terkenal sebagai sentra pembuatan batik tulis Lasem.
Motif Batik Lasem Dulu dan Sekarang
Motif dan warna batik tulis Lasem klasik atau lawasan, yang didominasi warna merah, sering disebut “merah darah ayam” (getih pitik). Karena warna merahnya yang cukup pekat dan konon warna ini tidak bisa ditiru di daerah lain. Kekhasan lain batik tulis Lasem terletak pada coraknya yang merupakan gabungan pengaruh budaya Tionghoa, budaya lokal masyarakat Pesisir Utara Jawa Tengah serta budaya Keraton Solo dan Yogyakarta. Konon para pedagang Tionghoa perantauan yang datang ke Lasem memberi pengaruh terhadap corak batik di daerah ini. Bahkan banyak pedagang ini yang kemudian beralih menjadi pengusaha batik di Kota Lasem.
Menurut harian Kompas (2005), pengaruh budaya Tiongkok berasal dari pengaruh budaya leluhur – kepercayaan dan legenda – para pengusaha batik ketika membuat desain motif batik. Misalnya, mereka memasukkan corak ragam hias burung Hong (Phoenix) dan binatang legendaris Naga ketika membuat desain motif batik tulis. Bahkan, cerita klasik Tiongkok seperti Sam Pek Eng Tey pernah menjadi motif batik tulis Lasem dan bisa bersaing dengan Batik Solo karena motifnya yang unik dan pernah diekspor mancanegara. Sedangkan pengaruh masyarakat Pesisir Utara terlihat pada kombinasi warna cerah, seperti merah, biru, dan kuning. Pengaruh Islam pada warna hijau. Sementara pengaruh Keraton ada pada corak, motif, dan ragam batik tulis Lasem. Ini terlihat misalnya dari penggunaan motif atau ornamen Kawung dan Parang.
Warna dan batik selera rakyat merupakan cerminan kondisi alam sekitar sebagai simbol tradisi khas daerah Lasem. Bentuk motif mengadopsi flora, seperti Latohan (rumput laut), Aseman (daun asam), Puspa (bunga), Sekar Jagad, Tiga Negeri; dan fauna, seperti Peksi''. Di masa lalu, variasi warnanya perpaduan merah, biru, putih, dan hijau. Belakangan, juga memasukkan kuning, jingga, dan ungu. Ragam motif dan warna kerap mengingatkan pada batik daerah Solo, Yogyakarta, Indramayu, Cirebon, Madura, dan Jambi.
Ini bukan hal aneh jika dikaitkan dengan ramainya hubungan dagang antar daerah tersebut dahulu. Sebagian besar susunan struktur adalah non geometris. Penamaan batik selera rakyat ini pada masa lalu umumnya berdasarkan tata warna bukan dari ragam hiasnya, misalnya saja
- Bang-bangan (memiliki latar putih dengan ragam hias merah atau sebaliknya),
- Kalengan (latar putih, ragam hias biru atau sebaliknya),
- Bang-biru (latar putih, ragam hias merah atau biru atau sebaliknya), dan
- Bang-biru-ijo (latar putih, ragam hias biru dan hijau)
Naga, Ikan Mas, dan Ayam Hutan. Juga motif bunga, seperti Seruni, Magnolia, dan Peony.
Ciri khas motif lainnya bisa dilihat dalam motif geometris seperti Swastika, Banji, Bulan, Awan, Gunung, Mata Uang, dan Gulungan Surat. Motif Tionghoa kerap berpadu dengan ragam hias batik khas Yogyakarta dan Solo, seperti Parang, Lereng, Kawung, dan Udan Liris''. Pemberian nama disesuaikan dengan nama motif yang dipakai. Misalnya Lerek Naga'', pola Lerek sebagai latar dan pola Sisik Naga sebagai motif utama. Motif latar pada umumnya disebutkan di awal nama, yang disusul pola yang menjadi motif utama atau motif selingan. Sebagian besar susunan struktur motifnya non-geometris.
Sumber:
Afdillah, M. Rifqi. Efraim Momba Reda., & Dicky Lopulalan. 2021. Memadukan Keberagaman. Yogyakarta: Terasmitra bekerjasama dengan BEDO