Rimpu

From Akal Lokal
Rimpu Cili dan Colo digunakan di depan Istana Kesultanan Bima (Asi Mbojo) yang kini menjadi museum. (Foto: Ariqa_TUK2).


Rimpu adalah tradisi berbusana bagi kaum perempuan yang berasal dari salah satu etnik di pulau Sumbawa, yaitu suku Mbojo. Suku Mbojo mendiami wilayah Kabupaten Dompu, Kota Bima dan Kabupaten Bima yang berada di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat[1].

Kata “rimpu” berasal dari bahasa Bima yang mengandung arti penutup kepala menggunakan sarung tenun khas Bima atau dalam bahasa setempat disebut tembe nggoli. Dengan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa rimpu adalah cara berbusana bagi wanita muslim Bima yang menutupi kepala dan anggota tubuh dengan menggunakan sarung tenunan layaknya hijab.

Tradisi menggunakan rimpu ini menandai pengaruh masuknya agama Islam di Bima. Saat itu, di bawah pemerintahan Sultan Bima ke-II bernama Abil Khaer Sirajuddin yang memerintah tahun 1640-1682 Masehi, sultan mewajibkan wanita muslim yang telah akil baligh menutup auratnya di hadapan orang yang bukan muhrimnya sesuai dengan ajaran agama islam. Tetapi, karena keterbatasan pakaian pada masa itu, masyarakat memanfaatkan sarung tenunan yang mereka tenun sendiri untuk menutup aurat setiap kali hendak bepergian keluar rumah. Jika aturan tersebut tidak dipatuhi artinya perempuan tersebut telah melanggar adat, hukum agama dan hukumnya lebih pada hukuman moral, orang yang melanggar dengan sendirinya akan merasa malu[2].

Fungsi Rimpu

Fungsi rimpu selain sebagai penutup aurat, juga digunakan untuk melindungi diri atau menjaga diri ketika beraktivitas diluar rumah. Rimpu pun menjadi fashion bagi kaum perempuan diera itu. Wanita Mbojo dengan bangga menunjukkan ke khalayak bahwa mereka sudah bisa menenun dan kain yang mereka gunakan adalah hasil karya mereka sendiri.

Cara Pemakaian Rimpu

Cara memakai rimpu sangat mudah yakni memerlukan dua lembar kain tembe nggoli (sarung tenun Bima). Sarung pertama dililitkan di kepala dan ujungnya dijulurkan hingga ke perut seperti menggunakan hijab dan sarung tenun kedua dipakai sebagai rok dengan melilitkan ke pinggul menjulur hingga ke mata kaki layaknya penggunaan sarung secara umum. Tembe Nggoli memiliki beragam warna yang cerah-cerah. Tidak masalah jika memadukan/memakai 2 warna berbeda yang terkesan tidak matching pada sarung atas dengan sarung bawahnya.

Motif tenun berpedoman pada nilai Islami dengan tidak memperbolehkan menggambar makhluk seperti hewan dan manusia karena dikhawatirkan mengagungkan gambar tersebut dengan pengagungan yang tidak seharusnya dan kembali ke ajaran lama nenek moyang yang percaya bahwa pada gambar tersebut terdapat roh yang harus disembah. Sedangkan motif yang diperbolehkan adalah flora dan geometris.

Rimpu Cili dan Rimpu Colo

Perbedaan cara menggunakan rimpu ada dua macam, yaitu rimpu cili dan rimpu colo.

Rimpu cili dipakai wanita yang belum menikah atau remaja, Rimpu jenis ini menutupi seluruh tubuh kecuali terlihat bagian mata, penggunaannya mirip cadar. Sedangkan rimpu colo menutupi seluruh bagian tubuh kecuali wajah, penggunaanya mirip seperti hijab. Adanya perbedaan penggunaan rimpu cili dan colo menjadi simbol yang menjelaskan status pernikahan wanita kepada masyarakat umum terutama ke pria, tentang apakah wanita tersebut belum atau telah memiliki suami. Inilah salah satu keunikan dari Rimpu (jadesta.kemenparekraf.go.id).

Rimpu dimasa Kini

Karena beragam keunikannya, rimpu kini menjadi warisan budaya yang  perlu terus dijaga masyarakat Bima dan Dompu. Salah satu tempat yang hingga kini masih melestarikan tenun tembe nggoli terletak di Ntobo Kota Bima yang telah dijadikan kampung wisata tenun. Sebagai salah satu sentra tenun di Kota Bima sebagian besar wanita disana masih menekuni tradisi menenun sarung tenun tembe nggoli yang telah diwarisi secara turun temurun. Selain menambah pendapatan menenun juga sebagai kegiatan produktif mengisi waktu luang pada sore hari.

Saat menenun ada yang sambil bercerita dengan teman-teman, ada pula yang menenun sambil menjaga kios. Kios yang berada di kampung tenun Ntobo selain menjual bahan kebutuhan sehari-hari juga menjual bahan untuk menenun seperti benang-benang tenun beraneka warna. Kampung tenun Ntobo menjadi sasaran wisatawan yang berkunjung ke Kota Bima untuk membeli oleh-oleh kain tenun dan sarung tenun khas Bima (tembe nggoli).

Penulis Artikel

✍️ Ditulis oleh: Admin

Sumber:

Dokumentasi program “Tenun Untuk Kehidupan” (TUK) Batch 2: Ariqa

  1. Portal Bima Kota, diakses 7 Mei 2023
  2. Detik.Bali, diakses pada 10 Februari 2024