Sero

From Akal Lokal
Model Sero nelayan Bajo. (Foto: Buku Fajar Timur)

Sero merupakan teknik menangkap ikan secara kolektif.

Sero bagi nelayan Bajo[1]

Bagi sebagian nelayan Bajo, mereka biasa menyebut alat ini dengan bala. Penggunaan sero oleh nelayan dilakukan di perairan dasar. Sero terbentuk dari jaring berbentuk lingkaran dengan diameter besar, sekitar sepuluh meter. Alat ini dipasang di kedalaman empat meter. Alat ini disangga dengan tiang kayu sepanjang antara 6 hingga 7 meter. Pemasangan sero di laut biasanya pada kawasan perlintasan perpindahan atau migrasi ikan. Para nelayan ulung Bajo memiliki pengetahuan dalam menentukan lokasi pemasangan alat tangkap ini. Namun, penggunaan sero oleh para nelayan bukan penyebab utama kelangkaan ikan. Ini salah satu cara nelayan untuk dapat bertahan dan memperoleh ikan di tengah persaingan dengan kapal-kapal ikan berukuran besar.

Sero bagi nelayan Wakatobi

Selain nelayan bubu, nelayan jaring, dan nelayan pancing, warga Wakatobi juga mengenal istilah nelayan sero.

Konstruksi perangkap ikan sero. (Foto: Buku Sangia, hal. 77)

Teknik yang disebut sero ini berupa konstruksi perangkap ikan sederhana yang dibangun di pinggiran pulau seluas ratusan meter persegi. Jika dilihat tampak atas, sero berbentuk anak panah dengan ujung berbentuk lingkaran (lihat Gambar 12) yang disebut futu.

Futu ini seperti kantung penampung ikan. Ia memiliki pintu satu arah. Ikan-ikan yang masuk ke futu akan terjebak di sana. Sedangkan bagian sayap disebut kappi dan batang anak panah disebut parojo. Kappi dan parojo ini semacam lorong untuk mengarahkan ikan menuju futu. Panjang parojo sendiri bisa sampai ratusan meter.

Futu dalam bahasa lokal punya banyak arti, bisa berarti timba, tali, atau buah zakar. Futu dalam sero menggunakan arti yang terakhir, karena bentuknya kan seperti kantong buah zakar[2]. Disebut begitu, karena ikan-ikan yang terperangkap di futu biasa berkualitas sangat baik. “Sama toh seperti buah zakar, dia simpan bibit-bibit terbaik,” kata Mursiati[2].

Di masa lalu sero dibangun dengan cara menyusun batu karang berjajar membentuk pagar di perairan padang lamun dengan posisi sedikit lebih tinggi dari batas air laut di kala pasang. Kemudian hari, batu karang digantikan dengan barisan bambu, lalu berubah menggunakan jaring yang diikat di tonggak-tonggak kayu yang ditancapkan di pasir atau tanah rawa. “Aduh, capek orang dulu-dulu ya. Kita harus kasih bersih dulu lamun-lamunnya, lalu pasang pagar bambu. Sekarang sudah lebih mudah, karena cukup pakai jaring,” kata Mayiati[2].

Cara kerja alat ini, ketika air pasang ikan bergerak melalui “lorong” parojo dan kappi, kemudian masuk melalui pintu futu. Ikan-ikan tidak bisa keluar lagi. Pada saat air laut surut, warga akan memanen ikan telah terkumpul di dalam futu.

Sero bagi nelayan Derawa

Konstruksi perangkap ikan sero batu. (Foto: Buku Sangia, hal. 78)

Khusus di Derawa, warga juga mengenal teknik sero batu. Prinsipnya mirip, tapi beda bentuk. Sero batu yang dibangun dari jajaran batu karang berbentuk gulungan membuka, seperti pucuk tunas tumbuhan pakis-pakisan atau paku-pakuan (lihat Gambar 13). Barisan batu karang tersebut disebut tando’a atau bala fatu. Pada saat air pasang, ikan masuk melewati lorong bala futu dan terperangkap di lingkaran pusat. “Sero batu ini biasanya jadi menjadi penanda lokasi di Derawa ini,” kata Mursiati[2].

Pembangunan sero atau sero batu ini biasanya diawali oleh mimpi. “Jadi, biasanya ada orang tua yang mimpi kedatangan penunggu pantai. Dia bilang, ‘Eh, saya datang atas perintah orang-orang banyak di sana. Kamu orang bikin ini di sini’. Orang yang bermimpi akan bilang ke warga, ‘Eh, saya mimpi begini tadi malam. Kita harus bikin sero di tempat sebelah sini’. Biasanya, teknik sero ini untuk menangkap ikan-ikan ritual,” kata Mursiati[2].

Teknik sero ini kerap digunakan warga Derawa pada waktu-waktu tertentu, saat diselenggarakan upacara adat. Warga satu kampung akan menangkap ikan secara bersama-sama. “Orang Kaledupa sering datang ke sini kalau mau bikin upacara pesta-pesta perkawinan atau sunatan. Mereka sering minta ikan di sini, karena warga Derawa masih menggunakan adat dulu-dulu dalam menangkap ikan,” kata Mayiati[2].

Sumber:

Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia (hal. 77-78)

Rumung, Brigita F.A Rumung, dkk. 2022. Fajar Timur Hingga Senja Kala Nusa: Antologi Pencarian Rasa Empat Wilayah. Jakarta: Terasmitra dan Wisanggeni91 (hal. 41)

  1. Rumung, Brigita F.A Rumung, dkk. 2022. Fajar Timur Hingga Senja Kala Nusa: Antologi Pencarian Rasa Empat Wilayah. Jakarta: Terasmitra dan Wisanggeni91
  2. 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 Mayiati - narasumber dalam buku Sangia hal. 77-78