Upiah Karanji
Hutan sangat penting bagi Ibrahim Suudi di Desa Tamaila Utara, Kecamatan Tolanghula, Kabupaten Gorontalo. Dari hutan, Ibrahim mendapatkan daun mintu, sejenis tanaman pakis yang banyak tumbuh di lantai pinggiran hutan, sebagai bahan baku pembuatan upiah karanji (kopiah khas Gorontalo) yang menjadi tumpuan ekonomi keluarganya[1].
Proses Pembuatan
Setelah diambil dari hutan, Ibrahim memisahkan tulangan daun mintu, membelah tulangan itu menjadi tiga, dan menjemurnya selama sehari. Kemudian, serat tulangan itu diserut dengan menggunakan alat yang dibuat sendiri dari tutup kaleng bekas yang dilubangi. Setelah halus, serat dianyam bersama tali rotan yang menjadi kerangka kopiah, baik berbentuk bulat maupun oval. Warna serat mintu sendiri ada tiga: putih, coklat, dan hitam. Warna coklat dan hitam biasanya digunakan untuk membuat motif upiah.
Ibrahim dan istrinya, Rusni Adam, hanya perlu membeli bahan baku tambahan, yakni tali rotan yang harganya Rp1.000,- ukuran panjang 3 meter. Perlu 3 ujung tali rotan. Satu upiah dijual di pasar dengan harga Rp30.000,- untuk yang bulat, dan Rp50.000,- yang oval. Harga lebih mahal jika upiah yang dihasilkan menggunakan motif, bisa sampai Rp150.000,-, bahkan Rp250.000,- hingga Rp400.000,- jika berdasarkan pesanan konsumen. Dalam sebulan, Ibrahim, istri, anak, dan menantunya dapat menghasilkan 12 upiah.[1]
Ibrahim; Seniman Upiah Karanji
Ibrahim lahir pada 1956, dua tahun sebelum masa pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA) berkecamuk di Gorontalo. Ia menikah pada usia 15 tahun dan istrinya 13 tahun. Dari pernikahannya lahir sembilan anak.
Ibrahim, istri, dan ke-sembilan anaknya pindah ke Tamaila Utara dari Desa Bakti IV di Kecamatan Palubala yang berjarak 29 km pada 1982 dengan berjalan kaki. Mereka pindah karena pada masa itu banyak kasus penculikan di desa mereka. Namun, di Tamaila juga tidak aman. Kasus perampokan rumah oleh kelompok bersenjata tajam banyak terjadi. Satu anak meninggal dunia karena ketakutan saat ada perampokan di desa.
Awalnya, Ibrahim membuka lahan pertanian seluas lima hektar (ha), tetapi setelah perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) menguasai konsesi hutan, tanah tersebut diambil dan sekarang dipagari kawat berduri. Hanya tersisa 1 pantango (1/4 ha) yang ditanami ubi, pisang, dan jagung. Sedangkan di tanah yang telah diambil perusahaan, keladi dan talas yang ditanam Ibrahim tumbuh subur dan beranak-pinak. Ibrahim masih memanennya untuk menambah pasokan pangan di rumahnya yang selama ini mendapatkan bantuan bulanan dari pemerintah desa, berupa beras raskin (10kg), telur (30 butir), minyak (6 kg), dan gula (5 kg).
Di rumahnya yang baru mendapat bantuan rehabilitasi dari desa, Ibrahim menceritakan rencananya untuk membudidayakan mintu.
“Ada tawaran dana 10 juta rupiah dari Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo. Dana itu bisa untuk beli tanah, kalau belum punya, atau beli pupuk dan peralatan produksi. Tapi, sampai sekarang dana itu belum cair,” kata Ibrahim.[2]
Budidaya mintu sangat penting bagi Ibrahim. Sekarang mintu sudah sulit didapatkan di kebun-kebun warga karena kebanyakan ditanami tanaman monokultur, seperti jagung. Sedangkan lahan di kawasan hutan juga banyak ditanami karet dan kelapa sawit. Untuk mendapatkan mintu yang panjang seratnya mencapai 1,5 meter, Ibrahim harus masuk lebih jauh lagi ke dalam hutan. Dan, itu membutuhkan waktu satu hari berjalan kaki.
Sumber:
Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia
- ↑ 1.0 1.1 Buku Sangia, hal. 208
- ↑ Buku Sangia, hal. 209