Jagung Wakatobi: Difference between revisions
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
||
| (2 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
| Line 16: | Line 16: | ||
Jagung yang masih muda bisa dibuat '''''jojolo'''''. Jagung ketan diparut atau ditumbuk, setelah itu diberi santan. Diaduk sampai merata, lalu diperas. Air pati yang dihasilkan kemudian dicampur dengan gula pasir dan sedikit garam, dan dimasak sampai mengental. Adonan lalu dimasukkan ke dalam wadah atau loyang cetakan, dibiarkan sampai mengeras. Baru kemudian bisa dipotong-potong dan siap disajikan | Jagung yang masih muda bisa dibuat '''''jojolo'''''. Jagung ketan diparut atau ditumbuk, setelah itu diberi santan. Diaduk sampai merata, lalu diperas. Air pati yang dihasilkan kemudian dicampur dengan gula pasir dan sedikit garam, dan dimasak sampai mengental. Adonan lalu dimasukkan ke dalam wadah atau loyang cetakan, dibiarkan sampai mengeras. Baru kemudian bisa dipotong-potong dan siap disajikan | ||
{{Penulis}} | |||
== Sumber: == | == Sumber: == | ||
Damayanti, Ery dan Masjhur Nina. 2022. [https://drive.google.com/file/d/1hOvBAx4QHgaDAnCpzoCjuocLY2KVJdgG/view?usp=drive_link Jejak Pangan Lokal Nusantara]. Jakarta:Terasmitra bekerjasama dengan GEF-SGP Indonesia dan LiterasiVisual15 (hal. 38-41) | Damayanti, Ery dan Masjhur Nina. 2022. [https://drive.google.com/file/d/1hOvBAx4QHgaDAnCpzoCjuocLY2KVJdgG/view?usp=drive_link Jejak Pangan Lokal Nusantara]. Jakarta:Terasmitra bekerjasama dengan GEF-SGP Indonesia dan LiterasiVisual15 (hal. 38-41) | ||
[[Category:Jagung Lokal]] | [[Category:Jagung Lokal]] | ||
[[Category:Wakatobi]] | [[Category:Wakatobi]] | ||
[[Category: | [[Category:Pangan Lokal]] | ||
Latest revision as of 05:21, 12 July 2025
Masyarakat Wakatobi menyebut jagung sebagai gandu. Wilayah ini memiliki jagung varietas lokal yang asli tanah setempat. Yaitu, jagung ketan atau gandu pullu. Bulirnya ada yang berwarna ungu, ada yang putih. Tongkol jagung ungu ukurannya lebih besar daripada yang putih.
Musim tanam jagung berlangsung saat musim hujan, biasanya di sekitar akhir November. Tanaman jagung dapat dipanen sekitar 3-4 bulan setelahnya. Bila sehabis panen masih ada hujan, maka petani akan menanam lagi. Sehingga, dalam setahun ladangnya bisa dua kali panen jagung.
Dalam menyimpan bibit jagung, kebiasaan orang Wakatobi sejak dulu adalah dengan menggantungkannya secara utuh di tempat-tempat yang hangat dan tak lembab. Misalnya, di atas tungku dapur atau di loteng rumah. Dengan digantungkan sedemikian rupa, kualitas dari bibit akan tetap terjaga baik, dibandingkan bila jagung-jagung hanya disimpan di dalam karung atau kardus.
Saat tiba masa menanam, petani tinggal mengambil jagung yang tergantung untuk dipakai sebagai bibit. Demikian pula bila hendak diolah sebagai makanan. Meski tua, jagung-jagung tersebut masih tetap dapat dikonsumsi.
Makanan Olahan Jagung Wakatobi
Beberapa makanan olahan dari jagung Wakatobi ada kapusu, jabbari, dan jojolo:
Kapusu adalah salah satu jenis makanan yang terbuat dari jagung yang sudah tua. Diolah dengan campuran santan kelapa, dan kadang dicampur dengan bahan-bahan makanan lain. Prosesnya, awalnya bulir-bulir jagung dipisahkan dari tongkolnya dan kemudian ditumbuk (tumbu kulamba). Bila hendak ditambahkan bahan lainnya, misalnya keladi, setelah dikupas keladi dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam panci yang sudah terisi jagung. Ditunggu sampai matang.
Olahan jagung tua lainnya adalah jabbari. Jagung digiling dengan kagili’a (alat giling jagung) sampai halus, lalu diayak. Bila masih ada yang kasar, proses giling dilanjutkan. Begitu seterusnya sampai semua halus menjadi tepung, dan tak ada yang terayak lagi. Tepung jagung tersebut kemudian dicampur dengan santan kelapa, gula pasir dan sedikit garam, daun pandan, dan daun serai. Dimasak sambil diaduk-aduk. Setelah matang, disajikan dalam mangkok-mangkok kecil.
Jagung yang masih muda bisa dibuat jojolo. Jagung ketan diparut atau ditumbuk, setelah itu diberi santan. Diaduk sampai merata, lalu diperas. Air pati yang dihasilkan kemudian dicampur dengan gula pasir dan sedikit garam, dan dimasak sampai mengental. Adonan lalu dimasukkan ke dalam wadah atau loyang cetakan, dibiarkan sampai mengeras. Baru kemudian bisa dipotong-potong dan siap disajikan
Penulis Artikel
Sumber:
Damayanti, Ery dan Masjhur Nina. 2022. Jejak Pangan Lokal Nusantara. Jakarta:Terasmitra bekerjasama dengan GEF-SGP Indonesia dan LiterasiVisual15 (hal. 38-41)
