Pulau Semau: Difference between revisions

From Akal Lokal
(Created page with "== Asal Muasal Semau dan Sistem Pembagian Lahan == Secara garis besar, masyarakat Semau berasal dari dua etnis utama yaitu '''etnis Helong''' dan '''etnis Rote'''. Etnis Helong dianggap sebagai penduduk asli sedangkan etnis Rote adalah pendatang. Di desa-desa dengan mayoritas etnis Helong, penduduk umumnya berasal dari beberapa klan utama yang juga tuan tanah atau bangsawan. Sistem pemerintahan di Semau relatif sederhana<ref>Penelitian yang dilakukan Perkumpulan PIKUL t...")
 
No edit summary
Line 5: Line 5:


Selain ''Dale Lam Tua'', ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut '''''Kaka Ama'''''. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang ''Kaka Ama''. Tidak seperti ''Dale Lama Tua'' yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang ''Kaka Ama'' adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. ''Kaka Ama'' juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. ''Kaka Ama'' ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.
Selain ''Dale Lam Tua'', ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut '''''Kaka Ama'''''. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang ''Kaka Ama''. Tidak seperti ''Dale Lama Tua'' yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang ''Kaka Ama'' adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. ''Kaka Ama'' juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. ''Kaka Ama'' ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.
== Pembagian Tanah dan Aktivitas Bercocok Tanam ==
Sejak pembagian tanah disepakati bersama klan-klan yang lain, keturunan klan Putis Lulut pun beraktivitas penuh di bagian utara. Mereka membuka/ membabat hutan dan membakar semak belukar ''(ngulun klapa)'', mengolah tanah dan memagari lahan ''(paha klapa)'', menabur benih ''(hai ngae)'', melakukan penyiangan ''(topa bati)''.
Mereka menetap di satu tempat, melakukan serangkaian aktivitas bercocok tanam selama tiga sampai empat musim tanam. Satu kali musim tanam berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kemudian berpindah lagi, bisa ke lokasi sebelumnya, bisa juga ke tempat lain. Mereka percaya, dengan sistem ladang berpindah ini mereka bisa bertahan hidup dan alam tidak rusak.
== Tahapan Bercocok Tanam ==
Tahap pertama bercocok tanam di masa itu diawali dengan membuka atau membabat hutan ''('''ngulun klapa''')'' dan membakar semak belukar di lahan kosong, yang tidak ada tanaman produktif dan dilakukan sebelum musim hujan.
Jika lahan sudah bersih dan mulai ada hujan satu sampai dua kali, dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu menabur benih pada hujan ketiga di bulan sebelas ''('''Ngul Esa''')''. Pada saat itu, benih yang akan ditabur, terlebih dulu dibungkus kain adat dan dilakukan upacara '''''soko haile''''' dengan sarana sirih pinang untuk memohon izin kepada Tuhan agar diberkati.
Apabila tanaman sudah tumbuh dan mulai ada gulma, dilakukan penyiangan. “Semangka bisa ditanam bersamaan deng jagung. Ada juga ''butale'' (kacang buncis), ''utan isin'' (labu), dan sedikit ''ale'' (padi). Tiga bulan kemudian ''hopong ngae'' sebagai wujud syukur bahwa Tuhan ''su'' kasih hasil panen" kata Amos<ref name=":0">[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 108</ref>.
Tahap selanjutnya adalah persiapan panen ''('''ngae latu''')'' yang dilanjutkan dengan ritual bakar jagung '''''(hopong ngae tutu saha)'''''. Bakar jagung secara harfiah dikaitkan dengan makan semangka. “Hopong ngae tutu saha, bakar jagung makan semangka. Itu yang paling ditunggu-tunggu,” ujar Salmon<ref name=":0" />.
Masyarakat Helong memiliki peraturan untuk tidak mengambil hasil kebun sebelum hasil pertama dipersembahkan kepada Tuhan. '''''Hopong ngae, tutu saha''''' adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.
<references />
[[Category:Pulau Semau]]
[[Category:Pertanian]]

Revision as of 07:18, 19 December 2024

Asal Muasal Semau dan Sistem Pembagian Lahan

Secara garis besar, masyarakat Semau berasal dari dua etnis utama yaitu etnis Helong dan etnis Rote. Etnis Helong dianggap sebagai penduduk asli sedangkan etnis Rote adalah pendatang. Di desa-desa dengan mayoritas etnis Helong, penduduk umumnya berasal dari beberapa klan utama yang juga tuan tanah atau bangsawan.

Sistem pemerintahan di Semau relatif sederhana[1]. Otoritas dan fungsi pemerintahan terkecil berada tunggal di tangan tuan tanah (Dale Lam Tua). Dale Lam Tua adalah pemegang hak kesulungan patrilineal dari klan tertua. Karenanya, ia menguasai tanah klan yang disebut Dale Ngalak, terdiri dari perkampungan (ingu), kebun (klapa), dan hutan (alas). Tetapi, klan tuan tanah bisa juga klan baru yang mendapatkan tanah melalui barter dengan ternak besar dengan klan terdahulu. Karena itu, penguasaan tanah seorang Dale Lam Tua bisa mencakup lebih dari satu ingu. Sebaliknya, beberapa Dale Lam Tua berbagi penguasaan tanah di satu ingu.

Selain Dale Lam Tua, ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut Kaka Ama. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang Kaka Ama. Tidak seperti Dale Lama Tua yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang Kaka Ama adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. Kaka Ama juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. Kaka Ama ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.

Pembagian Tanah dan Aktivitas Bercocok Tanam

Sejak pembagian tanah disepakati bersama klan-klan yang lain, keturunan klan Putis Lulut pun beraktivitas penuh di bagian utara. Mereka membuka/ membabat hutan dan membakar semak belukar (ngulun klapa), mengolah tanah dan memagari lahan (paha klapa), menabur benih (hai ngae), melakukan penyiangan (topa bati).

Mereka menetap di satu tempat, melakukan serangkaian aktivitas bercocok tanam selama tiga sampai empat musim tanam. Satu kali musim tanam berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kemudian berpindah lagi, bisa ke lokasi sebelumnya, bisa juga ke tempat lain. Mereka percaya, dengan sistem ladang berpindah ini mereka bisa bertahan hidup dan alam tidak rusak.

Tahapan Bercocok Tanam

Tahap pertama bercocok tanam di masa itu diawali dengan membuka atau membabat hutan (ngulun klapa) dan membakar semak belukar di lahan kosong, yang tidak ada tanaman produktif dan dilakukan sebelum musim hujan.

Jika lahan sudah bersih dan mulai ada hujan satu sampai dua kali, dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu menabur benih pada hujan ketiga di bulan sebelas (Ngul Esa). Pada saat itu, benih yang akan ditabur, terlebih dulu dibungkus kain adat dan dilakukan upacara soko haile dengan sarana sirih pinang untuk memohon izin kepada Tuhan agar diberkati.

Apabila tanaman sudah tumbuh dan mulai ada gulma, dilakukan penyiangan. “Semangka bisa ditanam bersamaan deng jagung. Ada juga butale (kacang buncis), utan isin (labu), dan sedikit ale (padi). Tiga bulan kemudian hopong ngae sebagai wujud syukur bahwa Tuhan su kasih hasil panen" kata Amos[2].

Tahap selanjutnya adalah persiapan panen (ngae latu) yang dilanjutkan dengan ritual bakar jagung (hopong ngae tutu saha). Bakar jagung secara harfiah dikaitkan dengan makan semangka. “Hopong ngae tutu saha, bakar jagung makan semangka. Itu yang paling ditunggu-tunggu,” ujar Salmon[2].

Masyarakat Helong memiliki peraturan untuk tidak mengambil hasil kebun sebelum hasil pertama dipersembahkan kepada Tuhan. Hopong ngae, tutu saha adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.

  1. Penelitian yang dilakukan Perkumpulan PIKUL tahun 2014
  2. 2.0 2.1 Buku Sangia, hal. 108