Hopong Ngae, Tutu Saha: Difference between revisions
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
||
| Line 6: | Line 6: | ||
== Perbedaan Proses Hopong Ngae Dulu dan Sekarang == | == Perbedaan Proses Hopong Ngae Dulu dan Sekarang == | ||
Ada perbedaan dalam proses pesta ''hopong ngae'' saat ini setelah masyarakat Helong memeluk agama Kristen dengan sebelumnya ketika masih mengikuti kepercayaan aslinya. | Ada perbedaan dalam proses pesta ''hopong ngae'' saat ini setelah masyarakat Helong di [[Pulau Semau]] memeluk agama Kristen dengan sebelumnya ketika masih mengikuti kepercayaan aslinya. | ||
Dahulu, ''Hopong ngae'' dilakukan masing-masing keluarga dimana sang suami dari keluarga yang akan melakukan ''hopong ngae'' akan mengecek apakah jagung muda milik ipar-iparnya sudah siap dikonsumsi sekaligus mengundang mereka untuk makan bersama. Ketika saudara-saudara dari istri menyatakan sudah siap maka acara ''hopong ngae'' siap dilaksanakan. | Dahulu, ''Hopong ngae'' dilakukan masing-masing keluarga dimana sang suami dari keluarga yang akan melakukan ''hopong ngae'' akan mengecek apakah jagung muda milik ipar-iparnya sudah siap dikonsumsi sekaligus mengundang mereka untuk makan bersama. Ketika saudara-saudara dari istri menyatakan sudah siap maka acara ''hopong ngae'' siap dilaksanakan. | ||
Latest revision as of 05:52, 31 December 2024
Hopong ngae, tutu saha[1] adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.
Panen jagung dilakukan ketika tongkol jagung sudah tua, biasanya mulai bul at (bulan April). Jagung-jagung yang tongkolnya besar akan diikat untuk diawetkan dengan cara diasap atau disimpan di loteng. Jagung dengan tongkol yang kecil akan dipipil dan diawetkan dengan abu kayu kusambi. Pemipilan jagung dikhususkan bagi jagung dengan bulir yang kecil.
Sebelum jagung berubah menjadi komoditi ekonomi, model bercocok tanam warga lebih dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga (pertanian subsisten) dan aktivitas kolektif untuk pemipilan jagung, mengikat jagung hingga menyimpan jagung.
Perbedaan Proses Hopong Ngae Dulu dan Sekarang
Ada perbedaan dalam proses pesta hopong ngae saat ini setelah masyarakat Helong di Pulau Semau memeluk agama Kristen dengan sebelumnya ketika masih mengikuti kepercayaan aslinya.
Dahulu, Hopong ngae dilakukan masing-masing keluarga dimana sang suami dari keluarga yang akan melakukan hopong ngae akan mengecek apakah jagung muda milik ipar-iparnya sudah siap dikonsumsi sekaligus mengundang mereka untuk makan bersama. Ketika saudara-saudara dari istri menyatakan sudah siap maka acara hopong ngae siap dilaksanakan.
Sehari sebelum hopong ngae, dipilih tujuh pohon jagung dengan bulir jagung yang besar untuk dibawa ke utun bangat sebagai persembahan bagi Lam Tua Tuan (Tuhan) dan leluhur. Para ibu dan perempuan dewasa memilih jagung yang akan direbus esok harinya dan memisahkan beberapa tongkol untuk dibuat ngae hungi.
Pagi hari di mana hopong ngae akan dilaksanakan, sebuah meja panjang layaknya meja jamuan pesta dipersiapkan. Para bapak dan lelaki dewasa akan membagi diri ke dalam dua kelompok. Sebagian ke hutan mengumpulkan kayu api, sebagian pergi ke laut untuk mencari ikan. Ada juga yang khusus menyiapkan babi atau kambing untuk dibunuh. Para mama menyiapkan jagung titi. Siang hingga sore hari, semua sibuk memasak untuk dikonsumsi malam harinya.
Menjelang matahari terbenam, hopong ngae dibuka oleh Kaka Ama yang mengucapkan basan sebagai ungkapan syukur kepada Lam Tua Tuan. Acara jamuan baru berakhir saat larut malam bahkan hingga pagi keesokan harinya karena aktivitas minum laru dan bercengkerama.
Ketika hopong ngae tutu saha selesai dilakukan, tahap berikutnya ialah pemipilan jagung (Lobot ngae). Lobot ngae biasanya dilakukan saat musim panen untuk jagung-jagung dengan tongkol yang kecil yang tidak bisa diikat. Lobot ngae adalah aktivitas kolektif warga desa yang melibatkan saudara-saudara dari satu klan dan juga warga sekitar.
Media yang dibutuhkan berupa sebuah para-para dari kayu yang dibuat menyerupai meja berukuran 2 x 2 meter (m) dan tinggi 60-70 sentimeter (cm) dengan empat kakinya ditanam di tanah. Pada tutup atasnya diikat batangan-batangan kayu dengan jarak antar kayu kurang lebih 5 cm. Kayu diikat berjarak agar jagung yang sudah dipipil dapat langsung jatuh ke bawah. Kaki-kaki dari para-para dibuat kokoh karena akan memuat beban minimal 500 kilogram (kg). Media lain yang dibutuhkan adalah haneno, yaitu lesung bulat dari pokok kayu yang besar.
Di bawah para-para digelar tikar besar sedikit lebih lebar dari haneno. Jagung yang akan dipipil dilepas kulitnya sehingga tinggal tongkol dengan biji yang masih menempel. Jagung yang akan dipipil semua dimasukkan ke dalam haneno.
Untuk memipil, tujuh orang lelaki dewasa akan naik ke atas para-para mengelilingi haneno. Menggunakan antan atau alu dari batangan kayu sebesar lengan orang dewasa, mereka mulai menumbuk jagung di dalam haneno. Biji-biji jagung yang terlepas dari tongkolnya sebagian tetap tinggal di dalam haneno, sebagian akan jatuh sendiri ke bawah. Kaum perempuan bertugas mengumpulkan jagung dari tikar di bawah haneno dan melakukan pemisahan antara tongkol dan biji jagung. Biji yang masih menempel pada tongkol akan dipipil menggunakan tangan. Para lelaki bergantian untuk menumbuk jagung di atas para-para sambil berbalas pantun dengan perempuan lewat lagu-lagu. Jagung yang sudah dipipil akan dijemur (hui ngae) kemudian disimpan pada silo, anyaman lontar atau gewang untuk diawetkan.
Sumber:
Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia
- ↑ Buku Sangia, hal. 108
