Utun Bangat: Difference between revisions

From Akal Lokal
No edit summary
No edit summary
Line 1: Line 1:
Di bidang pertanian, dahulu sebelum masuknya agama Kristen ke [[Pulau Semau]], setiap lahan memiliki '''''utun bangat''''' yang digunakan untuk meminta hasil panen yang melimpah maupun meminta hujan. ''Utun bangat'' dibangun pada salah satu sudut kebun dan agak jauh dari perlintasan orang. Berbentuk lingkaran yang ditata menggunakan batu-batu pelat. Pada ''utun bangat'' tersebut ditempatkan bangat dan ditanam tujuh biji jagung pada tujuh titik yang nantinya akan tumbuh menjadi tujuh rumpun. Ketujuh biji jagung ini akan ditanam terlebih dahulu dan dipanen belakangan. Biji-biji dari ketujuh rumpun jagung ini kemudian disimpan dan diawetkan terpisah untuk dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Biji yang diambil adalah biji yang berada pada bagian tengah tongkol jagung. “Tapi sejak masuknya agama Kristen ke Pulau Semau, aktivitas di ''utun bangat'' ditinggalkan,” ujar Barnabas<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 92</ref>.  
Di bidang pertanian, dahulu sebelum masuknya agama Kristen ke [[Pulau Semau]], setiap lahan memiliki '''''utun bangat''''' yang digunakan untuk meminta hasil panen yang melimpah maupun meminta hujan. ''Utun bangat'' dibangun pada salah satu sudut kebun dan agak jauh dari perlintasan orang. Berbentuk lingkaran yang ditata menggunakan batu-batu pelat. Pada ''utun bangat'' tersebut ditempatkan bangat dan ditanam tujuh biji jagung pada tujuh titik yang nantinya akan tumbuh menjadi tujuh rumpun. Ketujuh biji jagung ini akan ditanam terlebih dahulu dan dipanen belakangan. Biji-biji dari ketujuh rumpun jagung ini kemudian disimpan dan diawetkan terpisah untuk dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Biji yang diambil adalah biji yang berada pada bagian tengah tongkol jagung. “Tapi sejak masuknya agama Kristen ke [[Pulau Semau]], aktivitas di ''utun bangat'' ditinggalkan,” ujar Barnabas<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 92</ref>.  


Benda-benda yang dikeramatkan di utun bangat dihancurkan oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama, yaitu mendukung praktik sirik, memuja berhala.
Benda-benda yang dikeramatkan di ''utun bangat'' dihancurkan oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama, yaitu mendukung praktik sirik, memuja berhala.


== Utun Bangat berdasarkan Klan ==
== Utun Bangat berdasarkan Klan ==
[[File:Utan Bangat.png|thumb|''Utun Bangat'' Klan Putis Lulut]]
'''Klan Putis Luhut'''


Salmon Putis Lulut<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 88</ref> dari klan Putis Lulut bercerita bahwa ''utun bangat'' berbentuk lingkaran dengan tiga lapisan. Lingkaran paling kecil berada di bagian paling dalam yang ditata menggunakan lempengan-lempengan batu hitam dan dikelilingi oleh lingkaran berikutnya yang areanya berwarna putih. Lingkaran ketiga, yang paling luar berwarna merah karena diisi dengan tanah merah. Bagi klan penguasa utara [[pulau Semau]], ''utun bangat'' juga merupakan manifestasi dari ''bungtilu'' yang hadir dalam bentuk kain tenun Helong. Kenyataannya, ada perbedaan antara ''utun bangat'' dengan kain tenun Helong, di mana warna pada ''utun bangat'' adalah merah, putih, dan hitam sedangkan warna pada kain tenun Helong adalah merah, putih dan kuning.


Salmon Putis Lulut<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 88</ref> dari '''klan Putis Lulut''' bercerita bahwa ''utun bangat'' berbentuk lingkaran dengan tiga lapisan. Lingkaran paling kecil berada di bagian paling dalam yang ditata menggunakan lempengan-lempengan batu hitam dan dikelilingi oleh lingkaran berikutnya yang areanya berwarna putih. Lingkaran ketiga, yang paling luar berwarna merah karena diisi dengan tanah merah. Bagi klan penguasa utara pulau ini, ''utun bangat'' juga merupakan manifestasi dari ''bungtilu'' yang hadir dalam bentuk kain tenun Helong. Kenyataannya, ada perbedaan antara ''utun bangat'' dengan kain tenun Helong, di mana warna pada ''utun bangat'' adalah merah, putih, dan hitam sedangkan warna pada kain tenun Helong adalah merah, putih dan kuning.[[File:Utan Bangat.png|left|thumb|''Utun Bangat'' Klan Putis Lulut|link=https://tmpedia.or.id//index.php/File:Utan_Bangat.png]]
'''Klan Tausbele Kauhlae'''
[[File:Utun Bangat Klan Tausbelle Kauhlae.png|thumb|''Utun Bangat'' Klan Tausbelle Kauhlae]]
Sementara itu, ''utun bangat'' menurut klan Tausbele Kauhlae merupakan tempat persembahyangan yang selalu berada di hutan, di bawah pohon-pohon besar, jauh dari permukiman maupun aktivitas warga. Hal ini dibenarkan oleh beberapa narasumber lain di wilayah selatan. ''Utun bangat'' klan Tausbele Kauhlae yang berada di daratan [[Pulau Semau|Semau]] selalu berada di bawah pohon ''biuk'', berupa para-para kayu ''[[Pohon Kula|kula]]'' bercabang tiga dan dikelilingi lingkaran batu pelat. Sedangkan di Pulau Tabui yang letaknya berada di seberang bukit Liman, ''utun bangat'' klan Tausbele Kauhlae berupa lingkaran batu yang di tengahnya dipasang cangkang penyu.  


'''Klan Laitabun'''
[[File:Utun Bangat Klan Laitabun.png|thumb|''Utun Bangat'' Klan Laitabun]]
Di sisi lain, Barnabas Laitabun, tokoh adat di desa Uithiuhana kecamatan [[Pulau Semau|Semau]] Selatan menyatakan jika ''utun bangat'' berupa lingkaran batu pelat yang di tengahnya terdapat kayu ''kanonak''/ kayu lem. Di areal ''utun bangat'' ini biasa ditanam tujuh rumpun padi gaga (''ale tuwak'') atau jagung pulut yang menjadi sumber benih untuk ditanam di setiap musim tanam. Selain itu, ''utun bangat'' klan Laitabun ini ada juga yang berupa lesung kayu dengan tujuh lubang di tengahnya. Jika hujan tidak turun, lesung berlubang tujuh ini akan dicambuk keras-keras hingga mengeluarkan bunyi bertalu-talu.








== Pemimpin Ritual ==
''Utun bangat'' kemudian menjadi “ruang sambung” antara manusia dengan penciptanya. Di areal ''utun bangat'' inilah dilakukan ritual persembahyangan yang dipimpin oleh seorang '''''Kaka Ama'''''. Ritual itu disebut ''[[hui]]''. ''Hui'' dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing.


 
== Sumber: ==
Sementara itu, '''''utun bangat''''' '''menurut klan Tausbele Kauhlae''' merupakan tempat persembahyangan yang selalu berada di hutan, di bawah pohon-pohon besar, jauh dari permukiman maupun aktivitas warga. Hal ini dibenarkan oleh beberapa narasumber lain di wilayah selatan. ''Utun bangat'' klan Tausbele Kauhlae yang berada di daratan Semau selalu berada di bawah pohon ''biuk'', berupa para-para kayu ''[[Pohon Kula|kula]]'' bercabang tiga dan dikelilingi lingkaran batu pelat. Sedangkan di Pulau Tabui yang letaknya berada di seberang bukit Liman, ''utun bangat'' klan Tausbele Kauhlae berupa lingkaran batu yang di tengahnya dipasang cangkang penyu.[[File:Utun Bangat Klan Tausbelle Kauhlae.png|left|thumb|''Utun Bangat'' Klan Tausbelle Kauhlae|link=https://tmpedia.or.id//index.php/File:Utun_Bangat_Klan_Tausbelle_Kauhlae.png]]
Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. [https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang]. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia
 
 
 
 
 
 
 
Di sisi lain, Barnabas Laitabun, tokoh adat di desa Uithiuhana kecamatan Semau Selatan menyatakan jika ''utun bangat'' berupa lingkaran batu pelat yang di tengahnya terdapat kayu ''kanonak''/ kayu lem. Di areal ''utun bangat'' ini biasa ditanam tujuh rumpun padi gaga (''ale tuwak'') atau jagung pulut yang menjadi sumber benih untuk ditanam di setiap musim tanam. Selain itu, '''''utun bangat'' klan Laitabun''' ini ada juga yang berupa lesung kayu dengan tujuh lubang di tengahnya. Jika hujan tidak turun, lesung berlubang tujuh ini akan dicambuk keras-keras hingga mengeluarkan bunyi bertalu-talu.[[File:Utun Bangat Klan Laitabun.png|left|thumb|''Utun Bangat'' Klan Laitabun|link=https://tmpedia.or.id//index.php/File:Utun_Bangat_Klan_Laitabun.png]]
 
 
 
 
 
 
 
''Utun bangat'' kemudian menjadi “ruang sambung” antara manusia dengan penciptanya. Di areal ''utun bangat'' inilah dilakukan ritual persembahyangan yang dipimpin oleh seorang ''Kaka Ama''. Ritual itu disebut ''[[hui]]''. ''Hui'' dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing.


[[Category:Pertanian]]
[[Category:Pertanian]]
[[Category:Kepercayaan Masyarakat Adat]]
[[Category:Kepercayaan Masyarakat Adat]]

Revision as of 06:14, 31 December 2024

Di bidang pertanian, dahulu sebelum masuknya agama Kristen ke Pulau Semau, setiap lahan memiliki utun bangat yang digunakan untuk meminta hasil panen yang melimpah maupun meminta hujan. Utun bangat dibangun pada salah satu sudut kebun dan agak jauh dari perlintasan orang. Berbentuk lingkaran yang ditata menggunakan batu-batu pelat. Pada utun bangat tersebut ditempatkan bangat dan ditanam tujuh biji jagung pada tujuh titik yang nantinya akan tumbuh menjadi tujuh rumpun. Ketujuh biji jagung ini akan ditanam terlebih dahulu dan dipanen belakangan. Biji-biji dari ketujuh rumpun jagung ini kemudian disimpan dan diawetkan terpisah untuk dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Biji yang diambil adalah biji yang berada pada bagian tengah tongkol jagung. “Tapi sejak masuknya agama Kristen ke Pulau Semau, aktivitas di utun bangat ditinggalkan,” ujar Barnabas[1].

Benda-benda yang dikeramatkan di utun bangat dihancurkan oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama, yaitu mendukung praktik sirik, memuja berhala.

Utun Bangat berdasarkan Klan

Utun Bangat Klan Putis Lulut

Klan Putis Luhut

Salmon Putis Lulut[2] dari klan Putis Lulut bercerita bahwa utun bangat berbentuk lingkaran dengan tiga lapisan. Lingkaran paling kecil berada di bagian paling dalam yang ditata menggunakan lempengan-lempengan batu hitam dan dikelilingi oleh lingkaran berikutnya yang areanya berwarna putih. Lingkaran ketiga, yang paling luar berwarna merah karena diisi dengan tanah merah. Bagi klan penguasa utara pulau Semau, utun bangat juga merupakan manifestasi dari bungtilu yang hadir dalam bentuk kain tenun Helong. Kenyataannya, ada perbedaan antara utun bangat dengan kain tenun Helong, di mana warna pada utun bangat adalah merah, putih, dan hitam sedangkan warna pada kain tenun Helong adalah merah, putih dan kuning.

Klan Tausbele Kauhlae

Utun Bangat Klan Tausbelle Kauhlae

Sementara itu, utun bangat menurut klan Tausbele Kauhlae merupakan tempat persembahyangan yang selalu berada di hutan, di bawah pohon-pohon besar, jauh dari permukiman maupun aktivitas warga. Hal ini dibenarkan oleh beberapa narasumber lain di wilayah selatan. Utun bangat klan Tausbele Kauhlae yang berada di daratan Semau selalu berada di bawah pohon biuk, berupa para-para kayu kula bercabang tiga dan dikelilingi lingkaran batu pelat. Sedangkan di Pulau Tabui yang letaknya berada di seberang bukit Liman, utun bangat klan Tausbele Kauhlae berupa lingkaran batu yang di tengahnya dipasang cangkang penyu.

Klan Laitabun

Utun Bangat Klan Laitabun

Di sisi lain, Barnabas Laitabun, tokoh adat di desa Uithiuhana kecamatan Semau Selatan menyatakan jika utun bangat berupa lingkaran batu pelat yang di tengahnya terdapat kayu kanonak/ kayu lem. Di areal utun bangat ini biasa ditanam tujuh rumpun padi gaga (ale tuwak) atau jagung pulut yang menjadi sumber benih untuk ditanam di setiap musim tanam. Selain itu, utun bangat klan Laitabun ini ada juga yang berupa lesung kayu dengan tujuh lubang di tengahnya. Jika hujan tidak turun, lesung berlubang tujuh ini akan dicambuk keras-keras hingga mengeluarkan bunyi bertalu-talu.



Pemimpin Ritual

Utun bangat kemudian menjadi “ruang sambung” antara manusia dengan penciptanya. Di areal utun bangat inilah dilakukan ritual persembahyangan yang dipimpin oleh seorang Kaka Ama. Ritual itu disebut hui. Hui dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing.

Sumber:

Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia

  1. Buku Sangia, hal. 92
  2. Buku Sangia, hal. 88