Hui: Difference between revisions
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
||
| (4 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
| Line 1: | Line 1: | ||
''Hui'' adalah ritual persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Semau di masa lalu. ''Hui'' dilaksanakan di areal ''utun bangat'' yang diletakkan di dalam hutan, tempat yang jauh dari aktivitas manusia atau di bawah pohon ''biuk''. Masing-masing klan memiliki utun bangat sendiri-sendiri dengan desain yang berbeda. Ada yang berupa lingkaran pelat yang dibagi menjadi tiga bagian (klan Putis lulut), ada yang berupa lingkaran dengan lesung kayu di tengahnya (klan Nenobisi), ada juga berupa kayu ''kula'' yang dibuat cabang tiga dan dikelilingi batu pelat dan diletakkan di bawah pohon ''biuk'' (klan Tausbelle Kauhlae). | '''''Hui'''''<ref name=":0">Wawancara dengan Salmon Putis Lulut, Barnabas Laitabun, Salmun Batu pada Maret 2018 [https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link (Buku Sangia], hal. 87)</ref> adalah ritual persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat [[Pulau Semau|Semau]] di masa lalu. ''Hui'' dilaksanakan di areal ''[[Utun Bangat|utun bangat]]'' yang diletakkan di dalam hutan, tempat yang jauh dari aktivitas manusia atau di bawah pohon ''biuk''. Masing-masing klan memiliki utun bangat sendiri-sendiri dengan desain yang berbeda. Ada yang berupa lingkaran pelat yang dibagi menjadi tiga bagian (klan Putis lulut), ada yang berupa lingkaran dengan lesung kayu di tengahnya (klan Nenobisi), ada juga berupa kayu ''kula'' yang dibuat cabang tiga dan dikelilingi batu pelat dan diletakkan di bawah pohon ''biuk'' (klan Tausbelle Kauhlae). | ||
Di areal ''utun bangat'' inilah dilakukan ritual ''hui''. Terdapat bermacam-macam ''hui'' sesuai dengan tujuannya | == Jenis-jenis ''Hui'' == | ||
Di areal ''utun bangat'' inilah dilakukan ritual ''hui''. '''Terdapat bermacam-macam ''hui'' sesuai dengan tujuannya'''<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 90-91</ref>, yaitu: | |||
# '''''Hui ale ngae''''' (doa minta hasil panen melimpah), dilakukan untuk meminta hasil panen melimpah. Biasanya dilakukan menjelang musim panen padi atau panen jagung tiba. | |||
# '''''Hui ulan''''' (doa minta hujan), merupakan ritual meminta hujan dan dilakukan ketika musim kemarau berlangsung lama, tanaman sudah mulai banyak yang mati, serta stok bahan pangan mulai menipis. ''Hui ulan'' merupakan ritual yang paling besar skalanya di antara ritual-ritual lainnya. | |||
# '''''Hui mukit''''' (doa minta ternak melimpah), yaitu ritual meminta hasil ternak melimpah, supaya babi, kambing, sapi semuanya bagus dan bebas penyakit. Biasanya dilakukan sekali dalam setahun menjelang pergantian musim kemarau ke musim hujan | |||
# '''''Hui in muki''''' (doa minta kesejahteraan), dilakukan oleh orang yang biasanya sering ditimpa kemalangan. | |||
# '''''Hui in kenang''''' (doa minta kekuatan), merupakan ritual memohon kekuatan kepada ''[[Lam Tua Tuan]]'' agar diberi kekuatan/kesaktian. | |||
# '''''Hui ili''''' (doa minta kesembuhan), Bagi orang sakit, ia bersama keluarganya akan melakukan ritual meminta kesembuhan. | |||
# '''''Hui ikan''''' (doa minta hasil laut melimpah), ritual meminta hasil laut melimpah ini biasanya dilakukan menjelang ''meting'' besar di hampir semua laut dan menjelang panen ikan ''Uin Hnias'' (di Pantai Osalaen) dan ''Uin lulin'' (di Pantai Onan Lui dan Pantai Utun). | |||
# '''''Hui uma''''' (doa minta berkat atas rumah baru). Ritual ini dilakukan ketika seseorang baru selesai membangun rumah dan rumah baru tersebut akan ditempati. | |||
== ''Hui Ulan'' == | |||
''Hui'' yang biasanya dilaksanakan secara besar-besaran adalah ''hui ulan'' (meminta hujan). '''''Hui ulan'''''<ref>[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 87</ref> merupakan upacara meminta hujan yang diselenggarakan ketika terjadi kemarau panjang, persediaan pangan menipis, kelaparan mulai mengintai. | |||
Di bawah pohon ''biuk'', mesbah batu itu dikelilingi sesaji. Di tengah mesbah batu, para-para dari kayu ''kula'' ditegakkan. Tikar pun digelar. Babi, ayam, ''laru'', padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, bawang, ''poteka'', sirih, pinang dihamparkan. Tak jauh dari mesbah, seorang lelaki berbadan liat, berbibir merah pinang dengan keringat mengkilat-kilat diikat kuat, dijemur di bawah terik dan dikelilingi mereka yang bertelanjang dada. Dari jauh, terdengar gumaman sekelompok orang menyebut-nyebut ''“ulan..ulan..”''. Lelaki berdaging liat itu terus berkomat-kamit. Berbait-bait ''basan'' (mantra) pemanggil hujan dirapal. Angin basah berhembus pelan, awan hitam bergulung-gulung. Gemuruh guntur mulai membahana di ketinggian langit. | |||
== ''Dale Lamtua'' dan ''Kaka Ama'' == | |||
Salmun Batu<ref name=":0" /> merupakan pemimpin ritual ''hui ulan'' terakhir yang dilakukan di ''utun bangat''. Beliau berasal dari klan Tausbelle Kauhlae. Tokoh adat yang masih tersisa. Seorang '''''Dale Lamtua''''' (tuan tanah) sekaligus '''''Kaka Ama''''' yang terakhir kali melakukan ritual ''hui'' di [[Pulau Semau]] pada 1990-an. | |||
Hujan menjadi sebuah entitas penting di [[Pulau Semau|Semau]], menjadi penanda awal kehidupan baru segera dimulai. Hujan pula yang menjadi sebab klan Tausbelle Kauhlae yang sebagian besar warganya mendiami [[Pulau Semau]] bagian selatan ditahbiskan menjadi pawang hujan di masa [[Fetor Bisilisin]] berkuasa. [[Fetor Bisilisin]] pula yang memberi hak istimewa kepada klan Tausbelle membagi-bagi tanah di bagian selatan [[pulau Semau]].<ref>Buku Sangia, hal. 88</ref> | |||
== Sumber: == | |||
Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. [https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang]. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia | |||
[[Category:Kemampuan membaca alam]] | [[Category:Kemampuan membaca alam]] | ||
<references /> | |||
[[Category:Pulau Semau]] | |||
Latest revision as of 06:07, 31 December 2024
Hui[1] adalah ritual persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Semau di masa lalu. Hui dilaksanakan di areal utun bangat yang diletakkan di dalam hutan, tempat yang jauh dari aktivitas manusia atau di bawah pohon biuk. Masing-masing klan memiliki utun bangat sendiri-sendiri dengan desain yang berbeda. Ada yang berupa lingkaran pelat yang dibagi menjadi tiga bagian (klan Putis lulut), ada yang berupa lingkaran dengan lesung kayu di tengahnya (klan Nenobisi), ada juga berupa kayu kula yang dibuat cabang tiga dan dikelilingi batu pelat dan diletakkan di bawah pohon biuk (klan Tausbelle Kauhlae).
Jenis-jenis Hui
Di areal utun bangat inilah dilakukan ritual hui. Terdapat bermacam-macam hui sesuai dengan tujuannya[2], yaitu:
- Hui ale ngae (doa minta hasil panen melimpah), dilakukan untuk meminta hasil panen melimpah. Biasanya dilakukan menjelang musim panen padi atau panen jagung tiba.
- Hui ulan (doa minta hujan), merupakan ritual meminta hujan dan dilakukan ketika musim kemarau berlangsung lama, tanaman sudah mulai banyak yang mati, serta stok bahan pangan mulai menipis. Hui ulan merupakan ritual yang paling besar skalanya di antara ritual-ritual lainnya.
- Hui mukit (doa minta ternak melimpah), yaitu ritual meminta hasil ternak melimpah, supaya babi, kambing, sapi semuanya bagus dan bebas penyakit. Biasanya dilakukan sekali dalam setahun menjelang pergantian musim kemarau ke musim hujan
- Hui in muki (doa minta kesejahteraan), dilakukan oleh orang yang biasanya sering ditimpa kemalangan.
- Hui in kenang (doa minta kekuatan), merupakan ritual memohon kekuatan kepada Lam Tua Tuan agar diberi kekuatan/kesaktian.
- Hui ili (doa minta kesembuhan), Bagi orang sakit, ia bersama keluarganya akan melakukan ritual meminta kesembuhan.
- Hui ikan (doa minta hasil laut melimpah), ritual meminta hasil laut melimpah ini biasanya dilakukan menjelang meting besar di hampir semua laut dan menjelang panen ikan Uin Hnias (di Pantai Osalaen) dan Uin lulin (di Pantai Onan Lui dan Pantai Utun).
- Hui uma (doa minta berkat atas rumah baru). Ritual ini dilakukan ketika seseorang baru selesai membangun rumah dan rumah baru tersebut akan ditempati.
Hui Ulan
Hui yang biasanya dilaksanakan secara besar-besaran adalah hui ulan (meminta hujan). Hui ulan[3] merupakan upacara meminta hujan yang diselenggarakan ketika terjadi kemarau panjang, persediaan pangan menipis, kelaparan mulai mengintai.
Di bawah pohon biuk, mesbah batu itu dikelilingi sesaji. Di tengah mesbah batu, para-para dari kayu kula ditegakkan. Tikar pun digelar. Babi, ayam, laru, padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, bawang, poteka, sirih, pinang dihamparkan. Tak jauh dari mesbah, seorang lelaki berbadan liat, berbibir merah pinang dengan keringat mengkilat-kilat diikat kuat, dijemur di bawah terik dan dikelilingi mereka yang bertelanjang dada. Dari jauh, terdengar gumaman sekelompok orang menyebut-nyebut “ulan..ulan..”. Lelaki berdaging liat itu terus berkomat-kamit. Berbait-bait basan (mantra) pemanggil hujan dirapal. Angin basah berhembus pelan, awan hitam bergulung-gulung. Gemuruh guntur mulai membahana di ketinggian langit.
Dale Lamtua dan Kaka Ama
Salmun Batu[1] merupakan pemimpin ritual hui ulan terakhir yang dilakukan di utun bangat. Beliau berasal dari klan Tausbelle Kauhlae. Tokoh adat yang masih tersisa. Seorang Dale Lamtua (tuan tanah) sekaligus Kaka Ama yang terakhir kali melakukan ritual hui di Pulau Semau pada 1990-an.
Hujan menjadi sebuah entitas penting di Semau, menjadi penanda awal kehidupan baru segera dimulai. Hujan pula yang menjadi sebab klan Tausbelle Kauhlae yang sebagian besar warganya mendiami Pulau Semau bagian selatan ditahbiskan menjadi pawang hujan di masa Fetor Bisilisin berkuasa. Fetor Bisilisin pula yang memberi hak istimewa kepada klan Tausbelle membagi-bagi tanah di bagian selatan pulau Semau.[4]
Sumber:
Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia
- ↑ 1.0 1.1 Wawancara dengan Salmon Putis Lulut, Barnabas Laitabun, Salmun Batu pada Maret 2018 (Buku Sangia, hal. 87)
- ↑ Buku Sangia, hal. 90-91
- ↑ Buku Sangia, hal. 87
- ↑ Buku Sangia, hal. 88
