Dayango: Difference between revisions

From Akal Lokal
mNo edit summary
(Menambahkan narasi tentang Dayango)
Line 8: Line 8:


Waktu penyelenggaraan ritual ini tergantung skala masalah yang dihadapi. Jika untuk pengobatan manusia saja, bisa hanya satu malam. Namun, jika untuk manusa dan tanaman dalam satu desa, ritual bisa mengambil waktu tiga malam secara tidak berurutan (misal, Jumat, Senin, dan Jumat berikutnya). Untuk wilayah yang lebih luas, banyak desa misalnya, bisa diselenggarakan hingga setiap hari Jumat selama tiga bulan.
Waktu penyelenggaraan ritual ini tergantung skala masalah yang dihadapi. Jika untuk pengobatan manusia saja, bisa hanya satu malam. Namun, jika untuk manusa dan tanaman dalam satu desa, ritual bisa mengambil waktu tiga malam secara tidak berurutan (misal, Jumat, Senin, dan Jumat berikutnya). Untuk wilayah yang lebih luas, banyak desa misalnya, bisa diselenggarakan hingga setiap hari Jumat selama tiga bulan.
Sesajian yang disiapkan berupa hasil bumi (pisang, ubi, talas, padi, nanas, pinang, gula merah, dan kelapa), ayam dan telur, nasi kuning, bubur merah dan putih, ketupat dan beberapa rempah. Juga, bayu tumbo’o yaitu kelapa muda sebanyak 14 butir yang berfungsi untuk menampung penyakit. Jumlah sesaji bisa berlipat ganda untuk ritual yang besar. Selesai upacara, sesaji akan dilarung di sungai. Ritual Dayango kini jarang dipraktikkan. Pemerintah Kecamatan, Kepolisian, dan Kantor Koramil melarangnya. Beberapa desa di daerah terpencil kadang melakukannya secara diam-diam.
   
   
Referensi: Buku Sangia halaman 199
Referensi: Buku Sangia halaman 199
[[Category:Kemampuan membaca alam]]
[[Category:Kemampuan membaca alam]]

Revision as of 09:40, 12 December 2024

Menurut Ipong Niaga, peneliti Dayango yang juga mengajar di Fakultas Sastra dan Budaya (FSB) Universitas Negeri Gorontalo (UNG), ritual Dayango bertujuan untuk memohon kedatangan hujan agar kesuburan tanaman, baik yang ditanam di kebun-kebun masyarakat maupun tanaman liar di hutan kembali pulih. Selain itu, ritual ini bertujuan untuk memohon kesehatan bagi manusia dan hewan ternak.

Dayango biasa diadakan pada musim paceklik, ketika rasi bintang ayam sedang berada di atas langit, yang ditandai dengan tanah pecah-pecah, air mengering, tanaman layu, hama merebak, banyak ternah terjangkit wabah penyakit, dan termasuk manusia ikut sakit.

"Dayango biasa diadakan jika selama enam bulan tidak turun hujan," Kata Bali Pano.

Dayango berasal dari kata daya-daya dan motiyango. Daya-daya berarti membuat janji, permohonan kepada Sang Eya, zat tertinggi di alam semesta dalam kepercayaan Gorontalo Kuno. Sedangkan motiyango memanggil. Ritual ini dimaksudkan untuk memanggil para Latti yang bekerja merawat alam, memelihara tanaman, dan mengusir penyakit-penyakit yang menyerang makhluk hidup. Mereka percaya, masalah-masalah ini muncul karena tidak ada harmonisasi antara alam sakral dan alam profan, alam Latti dan alam manusia. Biasanya pada puncak acara akan terjadi trance menari di kalangan hadirin yang mengikuti ritual, sebagai tanda manusia dan Latti berpapasan untuk mengatur keseimbangan baru.

Waktu penyelenggaraan ritual ini tergantung skala masalah yang dihadapi. Jika untuk pengobatan manusia saja, bisa hanya satu malam. Namun, jika untuk manusa dan tanaman dalam satu desa, ritual bisa mengambil waktu tiga malam secara tidak berurutan (misal, Jumat, Senin, dan Jumat berikutnya). Untuk wilayah yang lebih luas, banyak desa misalnya, bisa diselenggarakan hingga setiap hari Jumat selama tiga bulan.

Sesajian yang disiapkan berupa hasil bumi (pisang, ubi, talas, padi, nanas, pinang, gula merah, dan kelapa), ayam dan telur, nasi kuning, bubur merah dan putih, ketupat dan beberapa rempah. Juga, bayu tumbo’o yaitu kelapa muda sebanyak 14 butir yang berfungsi untuk menampung penyakit. Jumlah sesaji bisa berlipat ganda untuk ritual yang besar. Selesai upacara, sesaji akan dilarung di sungai. Ritual Dayango kini jarang dipraktikkan. Pemerintah Kecamatan, Kepolisian, dan Kantor Koramil melarangnya. Beberapa desa di daerah terpencil kadang melakukannya secara diam-diam.

Referensi: Buku Sangia halaman 199