Rumah Suku Bajo: Difference between revisions

From Akal Lokal
No edit summary
No edit summary
 
Line 1: Line 1:
Beberapa rumah penduduk dibangun di atas tumpukan batu karang yangvdiambil oleh Suku Bajo pada saat laut surut atau meti. Batu-batu karang ini[[File:Dokumentasi Buku Fajar Timur.png|thumb|Rumah Suku Bajo dari dokumentasi buku Fajar Timur Hingga Senja Kala]]
[[File:Dokumentasi Buku Fajar Timur.png|thumb|Rumah Suku Bajo dari dokumentasi buku Fajar Timur Hingga Senja Kala]]Beberapa rumah penduduk Suku Bajo dibangun di atas tumpukan batu [[Terumbu karang|karang]] yang diambil oleh Suku Bajo pada saat laut surut atau ''meti''.  
kemudian ditumpuk sebagai pondasi dengan ketinggian yang antara dua sampai empat meter dari dasar laut. Ketinggian pondasi yang mirip tembok batu ini dirancang harus melewati batas pasang tertinggi air laut. Ini untuk menghindari genangan air pasang masuk ke dalam rumah.


Batu-batu [[Terumbu karang|karang]] ini kemudian ditumpuk sebagai pondasi dengan ketinggian yang antara dua sampai empat meter dari dasar laut. Ketinggian pondasi yang mirip tembok batu ini dirancang harus melewati batas pasang tertinggi air laut. Ini untuk menghindari genangan air pasang masuk ke dalam rumah.


Pemanfaatan karang sebagai pondasi baru-baru saja dilakukan masyarakat Bajo. Sebelumnya, sebagian rumah penduduk lainnya didirikan menggunakan tiang pancang dari kayu bakau. Kayu bakau tahan terhadap air laut yang asin dihunjam ke dasar laut. Rumah panggung dengan tiang tancap ini adalah model awal rumah suku bajo setelah ada permukiman. Dulu orang Bajo tinggal di soppe atau bangka, istilah untuk perahu yang berukuran besar. Dalam sejarah nya, orang Bajo dikenal sebagai “manusia perahu”, dan terbiasa hidup berpindah-pindah.Konsep rumah dan perkampungan menetap belum lama dikenal.


Pemanfaatan karang sebagai pondasi baru-baru saja dilakukan masyarakat Bajo. Sebelumnya, sebagian rumah penduduk lainnya didirikan menggunakan tiang pancang dari kayu bakau. Kayu bakau tahan terhadap air laut yang asin dihunjam ke dasar laut.


Oleh: Edi Harto, FORKANI  
Rumah panggung dengan tiang tancap ini adalah model awal rumah suku Bajo setelah ada permukiman. Dulu orang Bajo tinggal di ''soppe'' atau ''bangka'', istilah untuk perahu yang berukuran besar. Dalam sejarahnya, orang Bajo dikenal sebagai “manusia perahu”, dan terbiasa hidup berpindah-pindah. Konsep rumah dan perkampungan menetap belum lama dikenal.<ref>Edi Harto, FORKANI (halaman 35)</ref>
 
Dalam buku [https://drive.google.com/drive/folders/1JnKqvZcAImoCuKeVhw7r_84XJ3m7mM3i?usp=drive_link Fajar Timur Hingga Senja Kala] halaman, 35
== Sumber: ==
Rumung, Brigita F.A Rumung, dkk. 2022. [https://drive.google.com/file/d/1KyjkG-pIp7FSjGph3ZB5nxkqp19VM9Xk/view Fajar Timur Hingga Senja Kala Nusa: Antologi Pencarian Rasa Empat Wilayah]. Jakarta: Terasmitra dan Wisanggeni91
[[Category:Kearifan Lokal]]
[[Category:Wakatobi]]

Latest revision as of 05:05, 7 April 2025

Rumah Suku Bajo dari dokumentasi buku Fajar Timur Hingga Senja Kala

Beberapa rumah penduduk Suku Bajo dibangun di atas tumpukan batu karang yang diambil oleh Suku Bajo pada saat laut surut atau meti.

Batu-batu karang ini kemudian ditumpuk sebagai pondasi dengan ketinggian yang antara dua sampai empat meter dari dasar laut. Ketinggian pondasi yang mirip tembok batu ini dirancang harus melewati batas pasang tertinggi air laut. Ini untuk menghindari genangan air pasang masuk ke dalam rumah.


Pemanfaatan karang sebagai pondasi baru-baru saja dilakukan masyarakat Bajo. Sebelumnya, sebagian rumah penduduk lainnya didirikan menggunakan tiang pancang dari kayu bakau. Kayu bakau tahan terhadap air laut yang asin dihunjam ke dasar laut.

Rumah panggung dengan tiang tancap ini adalah model awal rumah suku Bajo setelah ada permukiman. Dulu orang Bajo tinggal di soppe atau bangka, istilah untuk perahu yang berukuran besar. Dalam sejarahnya, orang Bajo dikenal sebagai “manusia perahu”, dan terbiasa hidup berpindah-pindah. Konsep rumah dan perkampungan menetap belum lama dikenal.[1]

Sumber:

Rumung, Brigita F.A Rumung, dkk. 2022. Fajar Timur Hingga Senja Kala Nusa: Antologi Pencarian Rasa Empat Wilayah. Jakarta: Terasmitra dan Wisanggeni91

  1. Edi Harto, FORKANI (halaman 35)