Kano: Difference between revisions
No edit summary |
No edit summary |
||
| Line 11: | Line 11: | ||
Sumber: [https://drive.google.com/drive/folders/1JnKqvZcAImoCuKeVhw7r_84XJ3m7mM3i?usp=drive_link Buku Sangia], halaman 61-62 | Sumber: [https://drive.google.com/drive/folders/1JnKqvZcAImoCuKeVhw7r_84XJ3m7mM3i?usp=drive_link Buku Sangia], halaman 61-62 | ||
[[Category:Pertanian]] | |||
Revision as of 12:54, 16 December 2024
Sejenis umbi-umbian (ada yang tumbuh liar di hutan) yang sering ditanam oleh masyarakat Wakatobi. Tanaman ini biasanya merambat dan ditanam di lahan terpisah dengan yang lain. Di Pajam, petani mengenal 2 bibit Kano, yakni bibit besar (kasoba) dan bibit kecil (kaulu). Perbedaan bentuk bibit ini akan menentukan gundukan dan ajir yang digunakan. Untuk kasoba, gundukan tanah yang menimbun bibit berukuran besar dan menggunakan satu ajir dari bambu bulat utuh berdiameter sekitar lima cm dan panjang sekitar tiga hingga empat meter. Sementara untuk kaulu, gundukan tanah kecil dan ajir yang digunakan berupa batang bambu yang dibelah menjadi tiga atau empat (tergantung jumlah tunas yang tumbuh, semakin banyak tunas semakin banyak ajir) dan diikat di bagian atas (seperti tiang tenda).
Untuk menanam bibit kano atau opa, petani harus terlebih dulu menggemburkan tanah dengan menggunakan alat dari kayu mangrove yang disebut ao. Bentuknya seperti tongkat kayu panjang, berujung tajam, dan bercabang pada bagian bawah untuk menginjak tongkat agar bisa melesak ke dalam tanah. Cabang tersebut diikat dengan rotan. Alat ini juga digunakan untuk menimbun bibit kedua jenis umbi setelah ditanam. Sementara untuk menancapkan ajir ke tanah, petani harus membuat lubang terlebih dulu dengan menggunakan tongkat kayu yang berukuran lebih besar, biasa disebut tumbu. Tumbu ini dapat dipegang dengan dua tangan.
Proses penanaman kano ini bisa dibilang pekerjaan berat, terutama untuk mendapatkan bambu yang digunakan sebagai ajir. Petani harus mengambil dan memanggul bambu-bambu tersebut dari tempat lain karena kebanyakan tak tumbuh di kebun mereka. Belum lagi ditambah dengan pekerjaan menancapkan bambu-bambu tersebut di tanah. Biasanya, pekerjaan mengambil bambu berbeda hari dengan menancapkannya. Di Desa Pajam ada ritual khusus dalam budidaya kano ini. Setelah melilitkan kano ke ajir, petani pemilik lahan harus membuat kue wajik dengan maksud lilitan melekat kuat ke ajir. Analoginya seperti ketan, bahan baku kue wajik, yang lengket satu sama lain.
Dalam prosesnya, penanaman kano memiliki pamali, yakni, petani tidak boleh menyimpan parang atau pisau di lantai, itu sama saja seperti memasukkan pisau ke daging umbi kano. Pamali lainnya, warga tidak boleh melaksanakan tradisi hetombele atau bakar batu saat kano belum masuk masa panen.
Sumber: Buku Sangia, halaman 61-62
