Pulau Semau
Asal Muasal Semau dan Sistem Pembagian Lahan
Secara garis besar, masyarakat Semau berasal dari dua etnis utama yaitu etnis Helong dan etnis Rote. Etnis Helong dianggap sebagai penduduk asli sedangkan etnis Rote adalah pendatang. Di desa-desa dengan mayoritas etnis Helong, penduduk umumnya berasal dari beberapa klan utama yang juga tuan tanah atau bangsawan.
Sistem pemerintahan di Semau relatif sederhana[1]. Otoritas dan fungsi pemerintahan terkecil berada tunggal di tangan tuan tanah (Dale Lam Tua). Dale Lam Tua adalah pemegang hak kesulungan patrilineal dari klan tertua. Karenanya, ia menguasai tanah klan yang disebut Dale Ngalak, terdiri dari perkampungan (ingu), kebun (klapa), dan hutan (alas). Tetapi, klan tuan tanah bisa juga klan baru yang mendapatkan tanah melalui barter dengan ternak besar dengan klan terdahulu. Karena itu, penguasaan tanah seorang Dale Lam Tua bisa mencakup lebih dari satu ingu. Sebaliknya, beberapa Dale Lam Tua berbagi penguasaan tanah di satu ingu.
Selain Dale Lam Tua, ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut Kaka Ama. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang Kaka Ama. Tidak seperti Dale Lama Tua yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang Kaka Ama adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. Kaka Ama juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. Kaka Ama ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.
Pembagian Tanah dan Aktivitas Bercocok Tanam
Sejak pembagian tanah disepakati bersama klan-klan yang lain, keturunan klan Putis Lulut pun beraktivitas penuh di bagian utara. Mereka membuka/ membabat hutan dan membakar semak belukar (ngulun klapa), mengolah tanah dan memagari lahan (paha klapa), menabur benih (hai ngae), melakukan penyiangan (topa bati).
Mereka menetap di satu tempat, melakukan serangkaian aktivitas bercocok tanam selama tiga sampai empat musim tanam. Satu kali musim tanam berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kemudian berpindah lagi, bisa ke lokasi sebelumnya, bisa juga ke tempat lain. Mereka percaya, dengan sistem ladang berpindah ini mereka bisa bertahan hidup dan alam tidak rusak.
Tahapan Bercocok Tanam
Tahap pertama bercocok tanam di masa itu diawali dengan membuka atau membabat hutan (ngulun klapa) dan membakar semak belukar di lahan kosong, yang tidak ada tanaman produktif dan dilakukan sebelum musim hujan.
Jika lahan sudah bersih dan mulai ada hujan satu sampai dua kali, dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu menabur benih pada hujan ketiga di bulan sebelas (Ngul Esa). Pada saat itu, benih yang akan ditabur, terlebih dulu dibungkus kain adat dan dilakukan upacara soko haile dengan sarana sirih pinang untuk memohon izin kepada Tuhan agar diberkati.
Apabila tanaman sudah tumbuh dan mulai ada gulma, dilakukan penyiangan. “Semangka bisa ditanam bersamaan deng jagung. Ada juga butale (kacang buncis), utan isin (labu), dan sedikit ale (padi). Tiga bulan kemudian hopong ngae sebagai wujud syukur bahwa Tuhan su kasih hasil panen" kata Amos[2].
Tahap selanjutnya adalah persiapan panen (ngae latu) yang dilanjutkan dengan ritual bakar jagung (hopong ngae tutu saha). Bakar jagung secara harfiah dikaitkan dengan makan semangka. “Hopong ngae tutu saha, bakar jagung makan semangka. Itu yang paling ditunggu-tunggu,” ujar Salmon[2].
Masyarakat Helong memiliki peraturan untuk tidak mengambil hasil kebun sebelum hasil pertama dipersembahkan kepada Tuhan. Hopong ngae, tutu saha adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.
Pulau-Pulau Kecil di Sekitar Semau
Pulau Kera
Pulau Kera, pulau kecil di timur laut Semau, masuk dalam TWAL Teluk Kupang. Pulau itu banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar. Pasir pantainya halus dan putih. Sangat beda dengan tekstur pasir di Pulau Semau dan Pulau Timor. Perairannya juga istimewa karena kaya dengan terumbu karang dan pelbagai jenis ikan karang. Ombak yang tenang bikin kita ingin segera berenang di laut. Atau, main pasir di pantai sambil menikmati pemandangan lautnya yang indah sekali.
Awalnya pulau ini hanya sebagai tempat persinggahan sementara para nelayan dari Suku Bajo sejak masa pendudukan Jepang. Sekarang, jadi tempat hunian suku tersebut. Mereka secara administrasi tercatat sebagai warga Semau dan tidak memiliki bukti kepemilikan lahan di Pulau Kera karena tidak diizinkan pemerintah.
Pulau Kambing (Kambang)
Selain Pulau Kera, ada pulau kecil lain yang masuk dalam TWAL, yakni Pulau Kambing. Jangan bayangkan di pulau itu banyak kambingnya. Tidak ada sama sekali. Malah, kata seorang warga asal Pulau Semau, ada banyak rusa di pulau itu.
Pantai Pulau Kambing memiliki kekayaan tak ternilai, jika kita teliti melihatnya. Pantainya yang tidak berpasir, dipenuhi oleh batu-batu aneka bentuk dan ukuran, sering kali mengecoh pengunjung. Padahal, jika jeli, vegetasi yang tumbuh di atas karang pantai sangatlah unik, yakni ekosistem pohon santigi (Pempis acidula) yang banyak tumbuh di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil berkarang. Pohon ini salah satu spesies mangrove yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di daerah pantai.
Di Pulau Kambing, ada banyak pohon ini. Salah satunya, berukuran sekitar tujuh meter dengan diameter batang hampir 30 cm. Syukurlah pohon-pohon ini dapat hidup aman di Pulau Kambing ini. Di Pulau Semau, pohon ini sudah langka karena pernah terjadi pembongkaran besar-besaran untuk dijual ke Kupang. Di kalangan pencinta olahraga bahari, perairan Pulau Kambing termasuk destinasi petualangan yang masuk “daftar harus dikunjungi”. Terumbu karangnya yang subur dan tersebar luas di perairan yang jernih adalah tempat paling diincar para penyelam dan fotografer bawah air. Sedangkan untuk para pemancing, perairan Pulau Kambing adalah habitat ikan Burugahing (Giant Trevally) atau biasa disebut juga “GT Monster”. Seorang pemancing dari sebuah program di televisi swasta bahkan menyebut Pulau Kambing sebagai “Pusat GT Monster Nasional”. Rata-rata bobot ikan GT Monster yang berhasil dipancing dengan mudah di tempat ini berukuran 35-40 kg. Big strikes!
Pulau Tabui Salah satu pulau satelit Semau yang masuk dalam TNP Laut Sawu ini, punya kesan tersendiri untuk masyarakat Semau. Pulau ini dianggap punya kekuatan mistik. Tak banyak nelayan yang mau mengantarkan pengunjung ke pulau ini. Konon, di pulau ini kita tidak boleh bersuara, baik bercakap-cakap, bernyanyi, atau bersiul. Kita juga tidak boleh mencuci alat masak di pantai, tidak boleh membunuh atau mengambil satwa yang hidup di daratan Pulau Tabui. Jika dilanggar, kita tidak akan bisa kembali ke Pulau Semau atau Pulau Timor karena bisa saja mendadak gelombang laut akan membesar sehingga kapal tak bisa melewatinya.
Menurut Kepala Desa Utiuhtuan Samuel Lassi dalam sebuah percakapan sambil mengudap “pop corn” jagung bunga khas Semau, “tabui” dalam bahasa Helong berarti “ubi”. Dan, memang, di pulau itu terdapat beragam jenis ubi hutan, selain santigi dan aneka pohon besar khas pulau kecil. Tabui juga memiliki banyak kolam air tawar dan payau, gua-gua karst yang berisikan kelelawar dan walet. Di pulau tersebut juga terdapat satwa liar lain seperti ular, tikus besar dan baikumang atau umang-umang kenari (Birgus latro).
“Ukuran baikumang di pulau itu besar-besar, lebih besar dari kucing dewasa,”kata Samuel Lasi menjelaskan antropoda darat terbesar di dunia yang lebih dikenal dengan sebutan ketam kenari atau kepiting kelapa di Maluku ini.
Pulau Merah
Ada lagi satu pulau kecil tak berpenghuni, luasnya tidak lebih dari dua hektar. Pulau ini berupa lahan pasir yang landai dan ditumbuhi tanaman pesisir seperti bidara laut. Namanya, Pulau Merah. Pulau ini terhubung dengan Pulau Semau melalui semacam koridor pasir yang terendam ketika air pasang. Tak ada sumber air tawar ataupun satwa yang hidup di pulau ini. Di kalangan masyarakat sekitar, pulau ini punya cerita tersendiri. Pulau ini konon tempat bertapa para swanggi.
Lopulalan, Dicky. 2016. Semau Beta. Denpasar: Bali Lite Institute
- ↑ Penelitian yang dilakukan Perkumpulan PIKUL tahun 2014
- ↑ 2.0 2.1 Buku Sangia, hal. 108
