Lopo
Lopo atau rumah bulat merupakan sebuah tempat untuk berlindung dari panas siang, dingin malam, ataupun hujan khas orang Mollo (Timor Tengah Selatan) maupun orang Biboki (Timor Tengah Utara). Lopo juga semacam gudang atau tempat menyimpan benih jagung untuk musim tanam berikutnya. Lebih dari itu, Lopo juga memiliki peran menjadi media komunikasi antar manusia dan Tuhan. Di dalam Lopo berlangsung juga upacara-upacara adat, pertemuan keluarga, juga ritual bagi perempuan yang baru melahirkan. Pesan-pesan leluhur dapat dipahami melalui bahasa simbol yang tercantum pada struktur bangunan lembaga adat, seperti rumah bulat dengan satu bilik dan satu pintu.[1]
Fungsi Lopo
Lopo memiliki beragam bentuk tergantung fungsinya. Secara umum berbentuk bangunan bulat. Di bagian atap lopo dipasang jendela kecil sebagai tempat keluar asap kayu bakar. Membangun lopo membutuhkan kayu ampupu (Eucalyptus urophylla) dan kasuari yang lurus, kokoh, keras, dan tak rapuh. Sementara atapnya tersusun dari kerangka bambu dan alang- alang sebagai penutup yang melebar ke kaki rumah. Jika atap harus diganti lima hingga enam tahun sekali, kayu tiang bisa sampai puluhan tahun.[1]
Tenun dan Lopo
Tenun dan lopo menjadi pemersatu masyarakat adat Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Keduanya menggambarkan hubungan orang Mollo, Amanuban, dan Amanatun dengan alam, manusia, dan Penciptanya. Menenun maupun membangun lopo sama-sama membutuhkan kayu keras, tanaman pewarna, kapas, alang-alang dan lainnya dari hutan dan kebun. Laki-laki Mollo bertanggung jawab atas pembangunan lopo. Laki-laki yang memiliki lopo dianggap sudah siap menikah dan mandiri, mengatasi kehidupan berumah tangga kelak jika menikah. Demikian halnya perempuan dengan tenunnya.[1]
Sumber:
Maimunah, Siti. 2017. Tenun dan Para Penjaga Identitas. Jakarta: Poros Photo, Perhimpunan Lawe, Organisasi Attaemamus (OAT), dan GEF SGP Indonesia
- ↑ 1.0 1.1 1.2 Tenun dan Para Penjaga Identitas, hal. 9
