Sagu

From Akal Lokal
Revision as of 06:42, 7 January 2025 by Lia de Ornay (talk | contribs)

Dari dua belas desa di Pulau Kadelupa-Wakatobi, tiga di antaranya ditumbuhi oleh pohon sagu (Metroxylon sagu), sejenis tanaman palma. Yaitu, Horuo, Sombano, dan Balasuna. Maka, tak heran bila dikatakan bahwa sagu adalah salah satu bentuk kedaulatan pangan di Wakatobi. Setidaknya, dahulu demikian adanya.

Pohon sagu merupakan tumbuhan yang tak perlu dipelihara khusus, tapi rumitnya memanen pati sagu, membuat harga tepung sagu menjadi lebih mahal dibandingkan beras. Sebagai tanaman konsumsi, sagu tumbuh di hutan, bukan di kebun. Untuk dapat dipanen tepungnya, harus ditunggu sampai sebatang pohon sagu berumur setidaknya sekitar 8-12 tahun.

Memanen Sagu

Memanen sagu dalam prosesnya membutuhkan air yang banyak. Karena itu, harus dilakukan saat musim hujan. Secara tradisional memanen sagu tak memerlukan butuh banyak alat. Sebagian malah bisa dibuat di tempat, termasuk pemarut dan penumbuk. Meski sekarang kebanyakan sudah pakai mesin, bahkan ada yang menggunakan chainsaw daripada kapak.

Proses menebang pohon Sagu. (Sumber Foto: Buku Jejak Pangan Lokal Nusantara / Edy Susanto)

Makanan dari Sagu

Tepung sagu bisa dibikin menjadi bubur sagu dan berbagai makanan olahan lainnya. Antara lain yang dikenal adalah sinole. Bentuknya mirip seperti tiwul di Jawa atau nasi kering. Dibuat dengan menyangrai campuran tepung sagu dan parutan kelapa, yang diberi air dan garam. Sinole dimakan bersama taburan gula aren. Atau, sebagai teman ikan bakar, makanan spesial di daerah timur.

Sagu sudah tak banyak diminati lagi oleh masyarakat Wakatobi. Orang-orang di sana kini umumnya lebih memilih beras, singkong, atau jagung sebagai makanan pokoknya.

Proses memanen Sagu. (Sumber Foto: Buku Jejak Pangan Lokal Nusantara / Edy Susanto)

Sumber:

Damayanti, Ery dan Masjhur Nina. 2022. Jejak Pangan Lokal Nusantara. Jakarta:Terasmitra bekerjasama dengan GEF-SGP Indonesia dan LiterasiVisual15 (hal. 122)