Hui
Hui[1] adalah ritual persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Semau di masa lalu. Hui dilaksanakan di areal utun bangat yang diletakkan di dalam hutan, tempat yang jauh dari aktivitas manusia atau di bawah pohon biuk. Masing-masing klan memiliki utun bangat sendiri-sendiri dengan desain yang berbeda. Ada yang berupa lingkaran pelat yang dibagi menjadi tiga bagian (klan Putis lulut), ada yang berupa lingkaran dengan lesung kayu di tengahnya (klan Nenobisi), ada juga berupa kayu kula yang dibuat cabang tiga dan dikelilingi batu pelat dan diletakkan di bawah pohon biuk (klan Tausbelle Kauhlae).
Di areal utun bangat inilah dilakukan ritual hui. Terdapat bermacam-macam hui sesuai dengan tujuannya, yaitu: hui ale ngae (doa minta hasil panen melimpah), hui ulan (doa minta hujan), hui mukit (doa minta ternak melimpah), hui in muki (doa minta kesejahteraan), hui in kenang (doa minta kekuatan), hui ili (doa minta kesembuhan), hui ikan (doa minta hasil laut melimpah), hui uma (doa minta berkat atas rumah baru). Hui yang biasanya dilaksanakan secara besar-besaran adalah hui ulan (meminta hujan).
Hui ulan[2] merupakan upacara meminta hujan yang diselenggarakan ketika terjadi kemarau panjang, persediaan pangan menipis, kelaparan mulai mengintai.
Di bawah pohon biuk, mesbah batu itu dikelilingi sesaji. Di tengah mesbah batu, para-para dari kayu kula ditegakkan. Tikar pun digelar. Babi, ayam, laru, padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, bawang, poteka, sirih, pinang dihamparkan. Tak jauh dari mesbah, seorang lelaki berbadan liat, berbibir merah pinang dengan keringat mengkilat-kilat diikat kuat, dijemur di bawah terik dan dikelilingi mereka yang bertelanjang dada. Dari jauh, terdengar gumaman sekelompok orang menyebut-nyebut “ulan..ulan..”. Lelaki berdaging liat itu terus berkomat-kamit. Berbait-bait basan (mantra) pemanggil hujan dirapal. Angin basah berhembus pelan, awan hitam bergulung-gulung. Gemuruh guntur mulai membahana di ketinggian langit.
Salmun Batu[1] merupakan pemimpin ritual hui ulan terakhir yang dilakukan di utun bangat. Beliau berasal dari klan Tausbelle Kauhlae. Tokoh adat yang masih tersisa. Seorang Dale Lamtua (tuan tanah) sekaligus Kaka Ama yang terakhir kali melakukan ritual hui di Pulau Semau pada 1990-an.
Hujan menjadi sebuah entitas penting di Semau, menjadi penanda awal kehidupan baru segera dimulai. Hujan pula yang menjadi sebab klan Tausbelle Kauhlae yang sebagian besar warganya mendiami Pulau Semau bagian selatan ditahbiskan menjadi pawang hujan di masa Fetor Bisilisin berkuasa. Fetor Bisilisin pula yang memberi hak istimewa kepada klan Tausbelle membagi-bagi tanah di bagian selatan pulau.[3]
- ↑ 1.0 1.1 Wawancara dengan Salmon Putis Lulut, Barnabas Laitabun, Salmun Batu pada Maret 2018 (Buku Sangia, hal. 87)
- ↑ Buku Sangia, hal. 87
- ↑ Buku Sangia, hal. 88
