Tradisi Tato Perempuan Biboki

From Akal Lokal
Revision as of 03:27, 4 January 2025 by Mutiaafianti15 (talk | contribs) (Created page with "thumb|Tradisi Tato Pada Perempuan Biboki (Foto: Rosa Panggabean) Perempuan Biboki akrab dengan tato atau rajah pada bagian tubuhnya (terutama di tangan). Bentuknya bermacam-macam. Ada yang gambar binatang, tumbuhan, inisial nama hingga sekedar goresan yang tak beraturan. Tahapan pembuatan tatosebagai berikut: <ref name=":0">Palupi, Ning. 2023. [https://drive.google.com/file/d/1i6qKRvUHpjDvlRGu4JVv9h9gtaTsR1ZT/view?usp=sharing Puan Maestro_P...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Tradisi Tato Pada Perempuan Biboki (Foto: Rosa Panggabean)

Perempuan Biboki akrab dengan tato atau rajah pada bagian tubuhnya (terutama di tangan). Bentuknya bermacam-macam. Ada yang gambar binatang, tumbuhan, inisial nama hingga sekedar goresan yang tak beraturan. Tahapan pembuatan tatosebagai berikut: [1]

  1. kulit yang akan ditato, ditusuk menggunakan duri jeruk lemon membentuk gambar atau huruf yang diinginkan hingga keluar darah segar.
  2. Selanjutnya, luka akibat tusukan duri itu diolesi gamping/kapur.
  3. Bersamaan dengan darah yang keluar dan tercampur kapur itu, ditusukkan jelaga dari lentera yang warnanya hitam. Warna hitam dari tato tak hanya diperoleh dari jelaga pada lentera, tetapi bisa juga dari bagian bawah periuk hitam yang dicampur dengan minyak kelapa
  4. Luka tato akan membengkak selama beberapa hari dan dibiarkan mengempis hingga mengering sendiri.

Konon, tato ini dibuat sebagai tanda pengenal supaya ketika meninggal kelak, di alam lain gampang dikenali. Biasaya, tato semacam ini dibuat sambil menunggu mayat yang hendak dikubur. Pada kisah yang lain, tato dibuat dengan tujuan untuk melindungi kaum perempuan dari pengambilan paksa tentara Jepang untuk dijadikan junghun ianfu. [1]

Sebetulnya, tato ini tidak hanya dirajah di kalangan perempuan. Lelaki juga ada yang ditato. Hanya saja, tidak wajib, tergantung berani atau tidak. [1]

Pada masa pemerintahan Orde Baru, diberlakukan larangan bertato karena tato identik dengan ‘keburukan’, ‘kekerasan’, ‘keliaran’ dan konotasi negatif lainnya. Kala itu, orang-orang yang bertato tidak diperbolehkan sekolah. Lambat laun, tradisi bertato ini pun memudar.[1]

  1. 1.0 1.1 1.2 1.3 Palupi, Ning. 2023. Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki. Yogyakarta: Terasmitra