Utun Bangat
Di bidang pertanian, dahulu sebelum masuknya agama Kristen ke Semau, setiap lahan memiliki utun bangat yang digunakan untuk meminta hasil panen yang melimpah maupun meminta hujan. Utun bangat dibangun pada salah satu sudut kebun dan agak jauh dari perlintasan orang. Berbentuk lingkaran yang ditata menggunakan batu-batu pelat. Pada utun bangat tersebut ditempatkan bangat dan ditanam tujuh biji jagung pada tujuh titik yang nantinya akan tumbuh menjadi tujuh rumpun. Ketujuh biji jagung ini akan ditanam terlebih dahulu dan dipanen belakangan. Biji-biji dari ketujuh rumpun jagung ini kemudian disimpan dan diawetkan terpisah untuk dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Biji yang diambil adalah biji yang berada pada bagian tengah tongkol jagung. “Tapi sejak masuknya agama Kristen ke Pulau Semau, aktivitas di utun bangat ditinggalkan,” ujar Barnabas[1].
Benda-benda yang dikeramatkan di utun bangat dihancurkan oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama, yaitu mendukung praktik sirik, memuja berhala.
- ↑ Buku Sangia, hal. 92
