Utun Bangat

From Akal Lokal
Revision as of 04:33, 16 December 2024 by Lia de Ornay (talk | contribs)

Di bidang pertanian, dahulu sebelum masuknya agama Kristen ke Semau, setiap lahan memiliki utun bangat yang digunakan untuk meminta hasil panen yang melimpah maupun meminta hujan. Utun bangat dibangun pada salah satu sudut kebun dan agak jauh dari perlintasan orang. Berbentuk lingkaran yang ditata menggunakan batu-batu pelat. Pada utun bangat tersebut ditempatkan bangat dan ditanam tujuh biji jagung pada tujuh titik yang nantinya akan tumbuh menjadi tujuh rumpun. Ketujuh biji jagung ini akan ditanam terlebih dahulu dan dipanen belakangan. Biji-biji dari ketujuh rumpun jagung ini kemudian disimpan dan diawetkan terpisah untuk dijadikan benih pada musim tanam berikutnya. Biji yang diambil adalah biji yang berada pada bagian tengah tongkol jagung. “Tapi sejak masuknya agama Kristen ke Pulau Semau, aktivitas di utun bangat ditinggalkan,” ujar Barnabas[1].

Benda-benda yang dikeramatkan di utun bangat dihancurkan oleh gereja karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama, yaitu mendukung praktik sirik, memuja berhala.

Salmon Putis Lulut[2] dari klan Putis Lulut bercerita bahwa utun bangat berbentuk lingkaran dengan tiga lapisan. Lingkaran paling kecil berada di bagian paling dalam yang ditata menggunakan lempengan-lempengan batu hitam dan dikelilingi oleh lingkaran berikutnya yang areanya berwarna putih. Lingkaran ketiga, yang paling luar berwarna merah karena diisi dengan tanah merah. Bagi klan penguasa utara pulau ini, utun bangat juga merupakan manifestasi dari bungtilu yang hadir dalam bentuk kain tenun Helong. Kenyataannya, ada perbedaan antara utun bangat dengan kain tenun Helong, di mana warna pada utun bangat adalah merah, putih, dan hitam sedangkan warna pada kain tenun Helong adalah merah, putih dan kuning.

Utun Bangat Klan Putis Lulut




Sementara itu, utun bangat menurut klan Tausbele Kauhlae merupakan tempat persembahyangan yang selalu berada di hutan, di bawah pohon-pohon besar, jauh dari permukiman maupun aktivitas warga. Hal ini dibenarkan oleh beberapa narasumber lain di wilayah selatan. Utun bangat klan Tausbele Kauhlae yang berada di daratan Semau selalu berada di bawah pohon biuk, berupa para-para kayu kula bercabang tiga dan dikelilingi lingkaran batu pelat. Sedangkan di Pulau Tabui yang letaknya berada di seberang bukit Liman, utun bangat klan Tausbele Kauhlae berupa lingkaran batu yang di tengahnya dipasang cangkang penyu.

Utun Bangat Klan Tausbelle Kauhlae




Di sisi lain, Barnabas Laitabun, tokoh adat di desa Uithiuhana kecamatan Semau Selatan menyatakan jika utun bangat berupa lingkaran batu pelat yang di tengahnya terdapat kayu kanonak/ kayu lem. Di areal utun bangat ini biasa ditanam tujuh rumpun padi gaga (ale tuwak) atau jagung pulut yang menjadi sumber benih untuk ditanam di setiap musim tanam. Selain itu, utun bangat klan Laitabun ini ada juga yang berupa lesung kayu dengan tujuh lubang di tengahnya. Jika hujan tidak turun, lesung berlubang tujuh ini akan dicambuk keras-keras hingga mengeluarkan bunyi bertalu-talu.

Utun Bangat Klan Laitabun




Utun bangat kemudian menjadi “ruang sambung” antara manusia dengan penciptanya. Di areal utun bangat inilah dilakukan ritual persembahyangan yang dipimpin oleh seorang Kaka Ama. Ritual itu disebut hui. Hui dilakukan sesuai dengan tujuannya masing-masing.

  1. Buku Sangia, hal. 92
  2. Buku Sangia, hal. 88