Hyula

From Akal Lokal

Hyula merupakan kebiasaan menyatukan petani dalam proses bertani di Gorontalo. Hyula kini perlahan menghilang diantara kebiasaan bekerja bersama di antara sesama petani. Tradisi ini menumbuhkan semangat jaringan kerja antaranggota masyarakat yang memunculkan ketahanan sosial dengan terpeliharanya relasi sosial. Sekarang, hanya tinggal sedikit desa di Gorontalo yang masih mempraktikkan kebiasaan ini, salah satunya ada di Dusun Tumba.[1]

Sistem Kerja Hyula

Dalam buku Sejarah Daerah Sulawesi yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978) sistem kerja hyula terdiri dari kelompok kerja, disebut polita atau heiya dan motiayo.

Polita atau heiya, yaitu suatu kelompok kerja yang terdiri dari sejumlah anggota pekerja di mana tiap anggota mendapat giliran pekerjaan dalam mengerjakan kebun. Motiayo, yaitu suatu pekerjaan yang dikerjakan secara sukarela melalui undangan dari pemilik kebun. Pekerjaan motiayo meliputi perombakan hutan, pemetikan hasil kebun, pengangkutan, dan lainnya.

Aturan polita atau heiya sederhana, bertani secara bersama-sama dengan pengaturan kerja secara bergiliran. Misalnya saja, jika satu kelompok terdapat lima petani, maka semuanya akan bekerja bersama di satu lahan petani dalam satu hari kerja. Hari berikutnya, mereka akan pindah pada lahan petani lainnya, begitu terus sehingga seluruh lahan anggota selesai dikerjakan.

Tidak ada sistem upah dalam kerja hyula tersebut. Pemilik lahan yang ketempatan giliran hyula cukup menyediakan makan dan minum untuk orang-orang yang bekerja saja. Sanksi sosial akan bekerja jika ada seorang petani yang tidak bersedia bekerja dalam hyula. Saat ia menggarap lahannya (baik saat membersihkan lahan, menanam, maupun memanen), para petani yang lainnya tidak akan membantu petani tersebut. Dan, itu pasti akan menyulitkan karena tidak ada tenaga kerja upahan di desa yang dapat diperbantukan dan terlampau berat jika mengerjakan kebun sendirian.

Fungsi Lain Hyula

Selain pekerjaan di kebun, hyula juga dilakukan saat memipil biji jagung. Pada masa belum tersedianya mesin pemipil, petani merontokkan biji-biji jagung dari tongkolnya secara manual. Ada yang dengan cara memipil dengan menggunakan jari, ada pula dengan cara memukuli tumpukan jagung (biasa disebut muhul milu) secara bersama-sama.

Sumber:

Lopulalan, Dicky dan Palupi Nirmala. 2021. Sangia, Hui, Sang Hyang Dollar, dan Para Pembaca Bintang. Jakarta: Terasmitra dan Kapasungu dan didukung oleh GEF SGP Indonesia

  1. Buku Sangia, hal. 212