Pulau Semau: Difference between revisions

From Akal Lokal
(Created page with "== Asal Muasal Semau dan Sistem Pembagian Lahan == Secara garis besar, masyarakat Semau berasal dari dua etnis utama yaitu '''etnis Helong''' dan '''etnis Rote'''. Etnis Helong dianggap sebagai penduduk asli sedangkan etnis Rote adalah pendatang. Di desa-desa dengan mayoritas etnis Helong, penduduk umumnya berasal dari beberapa klan utama yang juga tuan tanah atau bangsawan. Sistem pemerintahan di Semau relatif sederhana<ref>Penelitian yang dilakukan Perkumpulan PIKUL t...")
 
No edit summary
 
(3 intermediate revisions by 2 users not shown)
Line 5: Line 5:


Selain ''Dale Lam Tua'', ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut '''''Kaka Ama'''''. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang ''Kaka Ama''. Tidak seperti ''Dale Lama Tua'' yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang ''Kaka Ama'' adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. ''Kaka Ama'' juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. ''Kaka Ama'' ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.
Selain ''Dale Lam Tua'', ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut '''''Kaka Ama'''''. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang ''Kaka Ama''. Tidak seperti ''Dale Lama Tua'' yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang ''Kaka Ama'' adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. ''Kaka Ama'' juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. ''Kaka Ama'' ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.
== Pembagian Tanah dan Aktivitas Bercocok Tanam ==
Sejak pembagian tanah disepakati bersama klan-klan yang lain, keturunan klan Putis Lulut pun beraktivitas penuh di bagian utara. Mereka membuka/ membabat hutan dan membakar semak belukar ''(ngulun klapa)'', mengolah tanah dan memagari lahan ''(paha klapa)'', menabur benih ''(hai ngae)'', melakukan penyiangan ''(topa bati)''.
Mereka menetap di satu tempat, melakukan serangkaian aktivitas bercocok tanam selama tiga sampai empat musim tanam. Satu kali musim tanam berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kemudian berpindah lagi, bisa ke lokasi sebelumnya, bisa juga ke tempat lain. Mereka percaya, dengan sistem ladang berpindah ini mereka bisa bertahan hidup dan alam tidak rusak.
== Tahapan Bercocok Tanam ==
Tahap pertama bercocok tanam di masa itu diawali dengan membuka atau membabat hutan ''('''ngulun klapa''')'' dan membakar semak belukar di lahan kosong, yang tidak ada tanaman produktif dan dilakukan sebelum musim hujan.
Jika lahan sudah bersih dan mulai ada hujan satu sampai dua kali, dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu menabur benih pada hujan ketiga di bulan sebelas ''('''Ngul Esa''')''. Pada saat itu, benih yang akan ditabur, terlebih dulu dibungkus kain adat dan dilakukan upacara '''''soko haile''''' dengan sarana sirih pinang untuk memohon izin kepada Tuhan agar diberkati.
Apabila tanaman sudah tumbuh dan mulai ada gulma, dilakukan penyiangan. “Semangka bisa ditanam bersamaan deng jagung. Ada juga ''butale'' (kacang buncis), ''utan isin'' (labu), dan sedikit ''ale'' (padi). Tiga bulan kemudian ''hopong ngae'' sebagai wujud syukur bahwa Tuhan ''su'' kasih hasil panen" kata Amos<ref name=":0">[https://drive.google.com/file/d/1Axa5TnZ0-CsCc1x7CB1j26fTQva7V20y/view?usp=drive_link Buku Sangia], hal. 108</ref>.
Tahap selanjutnya adalah persiapan panen ''('''ngae latu''')'' yang dilanjutkan dengan ritual bakar jagung '''''([[Hopong Ngae, Tutu Saha|hopong ngae tutu saha]])'''''. Bakar jagung secara harfiah dikaitkan dengan makan semangka. “Hopong ngae tutu saha, bakar jagung makan semangka. Itu yang paling ditunggu-tunggu,” ujar Salmon<ref name=":0" />.
Masyarakat Helong memiliki peraturan untuk tidak mengambil hasil kebun sebelum hasil pertama dipersembahkan kepada Tuhan. '''''[[Hopong Ngae, Tutu Saha|Hopong ngae, tutu saha]]''''' adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.
== Pulau-Pulau Kecil di Sekitar Semau ==
'''Pulau Kera'''
Pulau Kera, pulau kecil di timur laut Semau, masuk dalam [http://bbksdantt.menlhk.go.id/kawasan-konservasi/twal/twal-teluk-kupang/profil-twal-teluk-kupang TWAL (Taman Wisata Alam Laut) Teluk Kupang]. Pulau itu banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar. Pasir pantainya halus dan putih. Sangat beda dengan tekstur pasir di Pulau Semau dan Pulau Timor. Perairannya juga istimewa karena kaya dengan terumbu karang dan pelbagai jenis ikan karang. Ombak yang tenang bikin kita ingin segera berenang di laut. Atau, main pasir di pantai sambil menikmati pemandangan lautnya yang indah sekali.
Awalnya pulau ini hanya sebagai tempat persinggahan sementara para nelayan dari [[Rumah Suku Bajo|Suku Bajo]] sejak masa pendudukan Jepang. Sekarang, jadi tempat hunian suku tersebut. Mereka secara administrasi tercatat sebagai warga Semau dan tidak memiliki bukti kepemilikan lahan di Pulau Kera karena tidak diizinkan pemerintah.
'''Pulau Kambing (Kambang)'''
Selain Pulau Kera, ada pulau kecil lain yang masuk dalam TWAL, yakni Pulau Kambing. Jangan bayangkan di pulau itu banyak kambingnya. Tidak ada sama sekali. Malah, kata seorang warga asal Pulau Semau, ada banyak rusa di pulau itu.
Pantai Pulau Kambing memiliki kekayaan tak ternilai, jika kita teliti melihatnya. Pantainya yang tidak berpasir, dipenuhi oleh batu-batu aneka bentuk dan ukuran, sering kali mengecoh pengunjung. Padahal, jika jeli, vegetasi yang tumbuh di atas karang pantai sangatlah unik, yakni ekosistem pohon santigi '''''([https://www.nparks.gov.sg/florafaunaweb/flora/2/3/2312 Pempis acidula])''''' yang banyak tumbuh di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil berkarang. Pohon ini salah satu ''spesies'' mangrove yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di daerah pantai.
Di Pulau Kambing, ada banyak pohon ini. Salah satunya, berukuran sekitar tujuh meter dengan diameter batang hampir 30 sentimeter (cm). Syukurlah pohon-pohon ini dapat hidup aman di Pulau Kambing ini. Di Pulau Semau, pohon ini sudah langka karena pernah terjadi pembongkaran besar-besaran untuk dijual ke Kupang.
Di kalangan pencinta olahraga bahari, perairan Pulau Kambing termasuk destinasi petualangan yang masuk “daftar harus dikunjungi”. Terumbu karangnya yang subur dan tersebar luas di perairan yang jernih adalah tempat paling diincar para penyelam dan fotografer bawah air. Sedangkan untuk para pemancing, perairan Pulau Kambing adalah habitat ikan ''Burugahing'' '''[https://nookipedia.com/wiki/Giant_trevally ''(Giant Trevally'')]''' atau biasa disebut juga '''''“GT Monster”'''''. Seorang pemancing dari sebuah program di televisi swasta bahkan menyebut Pulau Kambing sebagai '''“Pusat GT Monster Nasional”'''. Rata-rata bobot ikan GT Monster yang berhasil dipancing dengan mudah di tempat ini berukuran 35-40 kilogram (kg). ''Big strikes!''
'''Pulau Tabui'''
Salah satu pulau satelit Semau yang masuk dalam Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu ini, punya kesan tersendiri untuk masyarakat Semau. Pulau ini dianggap punya kekuatan mistik. Tak banyak nelayan yang mau mengantarkan pengunjung ke pulau ini. Konon, di pulau ini kita tidak boleh bersuara, baik bercakap-cakap, bernyanyi, atau bersiul. Kita juga tidak boleh mencuci alat masak di pantai, tidak boleh membunuh atau mengambil satwa yang hidup di daratan Pulau Tabui. Jika dilanggar, kita tidak akan bisa kembali ke Pulau Semau atau Pulau Timor karena bisa saja mendadak gelombang laut akan membesar sehingga kapal tak bisa melewatinya.
Menurut Kepala Desa ''Utiuhtuan'' Samuel Lassi dalam sebuah percakapan sambil mengudap ''“pop corn”'' jagung bunga khas Semau, “'''''tabui'''''” dalam bahasa ''Helong'' berarti “ubi”. Dan, memang, di pulau itu terdapat beragam jenis ubi hutan, selain ''santigi'' dan aneka pohon besar khas pulau kecil. Tabui juga memiliki banyak kolam air tawar dan payau, gua-gua karst yang berisikan kelelawar dan walet. Di pulau tersebut juga terdapat satwa liar lain seperti ular, tikus besar dan ''baikumang'' atau umang-umang kenari [https://www.marinespecies.org/aphia.php?id=208668&p=taxdetails '''''(Birgus latro)'''''].
“Ukuran ''baikumang'' di pulau itu besar-besar, lebih besar dari kucing dewasa,” kata Samuel Lasi menjelaskan antropoda darat terbesar di dunia yang lebih dikenal dengan sebutan ketam kenari atau kepiting kelapa di Maluku ini.
'''Pulau Merah'''
Ada lagi satu pulau kecil tak berpenghuni, luasnya tidak lebih dari dua hektar. Pulau ini berupa lahan pasir yang landai dan ditumbuhi tanaman pesisir seperti bidara laut''.'' Namanya, Pulau Merah. Pulau ini terhubung dengan Pulau Semau melalui semacam koridor pasir yang terendam ketika air pasang. Tak ada sumber air tawar ataupun satwa yang hidup di pulau ini. Di kalangan masyarakat sekitar, pulau ini punya cerita tersendiri. Pulau ini konon tempat bertapa para ''[[swanggi]]''.
== Pantai-Pantai di Sekitar Pulau Semau ==
'''Pantai Bahalote, Uibua, Onandela, Maihbakilin, Amameda, Bautedas, dan Lutuan (Desa Uiasa)'''
Memiliki karakteristik  pasir pantai yang sama, putih dan lembut seperti tepung beras. Di Pantai Bahalote, perbatasan dengan Desa Letbaun, disana dapat kita temui cemara dan pandan laut. Sedangkan di Pantai Maebakilin, Amameda dan Onantuan, terdapat pohon ''tenge'' (sejenis mangrove).
'''Pantai Letbaun (Desa Letbaun)'''
[[File:Salah satu pantai di Pulau Semau.png|thumb|324x324px|Salah satu pantai di Pulau Semau (foto: Semau Beta, hlm 95)]]
Pantai ini berpasir putih dengan air laut biru muda. Sebagian pantai digunakan sebagai tempat berladang [[Rumput laut|rumput laut.]] Kita bisa menemui kulit-kulit ''kima'' berisikan air laut yang disusun berjajar rapi pinggiran pantai. Ini [[Nyiru|wadah]] produksi garam tradisional. Air laut yang ditampung dalam kulit ''kima'' akan berubah menjadi kristal-kristal garam ketika air diuapkan sinar matahari yang terik. Selain pantai, kita juga dapat mendatangi tiga gua karst yang ada di '''Desa Letbaun'''. Masing-masing gua tersebut memiliki kolam air, ada yang tawar, payau dan asin. Di dalam gua kita dapat menemui stalaktit dan stalakmit, serta penghuni gua: burung walet dan kelelawar.
'''Pantai Batuinan (Desa Batuinan)'''
Bibir pantai ini berupa karang-karang tajam dan runcing dengan formasi yang unik. Air lautnya sangat jernih berwarna biru muda. Ombak di pantai cukup besar sehingga dapat menimbulkan cipratan yang tinggi saat menghantam tepi pantai karang.
'''Pantai Otan (Desa Otan)'''
Untuk sampai ke pantai ini, kita akan melewati perkampungan penduduk dengan rumah-rumah bergaya tradisional: berdinding bambu atau pelepah lontar dan beratap ilalang. '''Pantai Otan''' paling populer di Pulau Semau. Sepanjang mata memandang hanya terlihat pantai berpasir putih dan laut luas membentang. Suasana di tempat ini sangat tenang karena tak banyak orang yang datang berkunjung. Beberapa bagian pantai mulai ditanami rumput laut.
'''Pantai Hlengan, Pantai Onanbalu, dan Pantai Uimake (Desa Bokonusan)'''
Sebelum masuk '''Pantai Hlengan''', kita akan melewati hamparan padang rumput luas, hijau saat bulan-bulan basah dan coklat keemasan sepanjang musim kering. Hamparan batu karang di bibir kiri menjadi ciri tempat ini. Di pantai dengan panjang lebih dari tiga kilometer ini, sesekali dapat dilihat aksi burung camar menyambar ikan di laut dengan cakarnya. Beberapa pohon asam besar tumbuh di sekitar pantai.
'''Pantai Onanbalu''' terletak di Teluk Onanbalu. Pantainya sendiri memiliki karakteristik yang panjang. Terdapat banyak petani rumput laut di pantai ini. Perdu di pinggir pantai dapat menjadi tempat berteduh yang cukup nyaman untuk menikmati pemandangan laut.
Setelah melewati jalan menanjak tak jauh dari Desa Bokonusan, di sebelah kiri jalan, jauh di bawah tebing terdapat '''Pantai “rahasia” Uimake'''. Tak banyak orang tahu pantai ini karena letaknya yang agak tersembunyi di bawah tebing dan jauh dari perkampungan.
Ukuran pantai ini tak lebih dari 200 meter. Kanan kirinya dipagari karang-karang besar, seperti tembok perlindungan bagi mereka yang mencari tenang di tempat ini. Untuk menuju pantainya kita harus menuruni bukit terlebih dahulu karena memang letak pantainya ada di bawah bukit. Batu karang di pantai seperti jamur, menciptakan naungan bagi pengunjung yang ada di bawahnya.
Pantai berpasir putih bersih berpadu dengan air laut jernih hijau kebiruan akan langsung memerangkap pengunjung dalam ketakjuban. Pohon ''kosambi'' besar dan kokoh mencengkram batu karang, pohon asam yang gondrong dan pohon ''santigi'' yang meliuk bak penari, memberi jiwa purba pada pantai itu. Bonusnya, sewaktu waktu burung bangau mendarat di pasir untuk menelan [[Ikan Napoleon|ikan]] tangkapannya atau sekadar hinggap saja. Saat berada di sana, kita seperti masuk dunia masa lalu, dunia keindahan alami.
'''Pantai Uinian dan Pantai Uilhaen Ana (Desa Uiboa)'''
'''Pantai Uinian''' terletak di belakang perkampungan. Tumbuhan pesisir, utamanya pandan laut hidup di pinggiran pantai. Perairan di depan pantai ini kaya dengan terumbu karang, tempat ideal untuk ''snorkeling'' maupun ''diving''. Pasir putih terhampar di pantai ini. Oleh masyarakat, pasir ini dimanfaatkan untuk membuat batako, bahan baku bangunan rumah.
'''Pantai Uilhaen Ana''' terletak di sebelah Pantai Uinian, diapit oleh dua tanjung karang. Pohon-pohon kelapa tumbuh di pinggiran pantai, seperti barisan payung raksasa yang memberikan naungan dan udara sejuk. Tumpukan batu di sekitar pasir pantai memberi aksentuasi kedalaman, seperti Taman Zen di masyarakat Jepang. Keistimewaan pantai ini bertambah dengan [[Uiasa|mata air]] yang ada di dalam gua kecil. Airnya tawar. Oleh masyarakat, air dari sumber itu dimanfaatkan untuk menyiram kebun-kebun bawang merah yang tak jauh dari pantai tersebut.
'''Pantai Onan Mata, Pantai Tano, dan Pantai Bolhua (Desa Uitiuhtuan)'''
Panjang '''Pantai Onan Mata''' sekitar 500 m dengan pasir yang sangat halus. Dalam bahasa lokal, pantai ini disebut juga dengan '''''Luh Sing''''' atau '''Pantai Cemara'''. Memang, sepanjang pantai ini berbaris bak tentara pohon-pohon cemara yang rindang. Beberapa pohon ''kom'' (akasia afrika) juga tumbuh disini. Arus di perairan ini tidak terlampau kuat, sangat cocok untuk berenang. Pantai ini juga menjadi tempat bagi nelayan menyandarkan perahu.
'''Pantai Tano''' atau '''''Tanao Ana''''' (Pantai Kecil) hanya berjarak 50 m dari ''Onan Mata''. Hanya sedikit pasir, kebanyakan batu-batu karang yang menjorok ke air. Di daratan pantai, banyak tumbuh pohon ''santigi'' dengan tonjolan urat dan otot pohon seperti atlet binaraga. Salah satu pohon itu disebut sebagai ''Maek So''. Dulu, menjadi tempat bagi masyarakat Semau untuk meminta hujan. Dari pinggiran pantai ini, kita bisa melihat camar beterbangan dan sesekali menukik menangkap ikan dengan cakar tajam mereka.
'''''Bolhua''''' berarti “melahirkan” dalam Bahasa Helong. Pantai ini disebut Bolhua (kadang Kolhua), konon, karena ada seorang ibu yang melahirkan di sekitar pantai ketika sedang melakukan perjalanan dengan kelompok warga yang lain. Pantai ini terletak di sebelah Bukit Liman dan berhadapan dengan Pulau Tabui. Pandan laut banyak di pantai ini. Ombak di perairan ini cukup kuat, tidak cukup aman untuk berenang.
Di luar tiga pantai tersebut, masyarakat Uitiuhtuan juga punya pantai pantai khusus yang memiliki kaitan dengan masa lalu. Misalnya, '''Pantai Bolo Nabeno Man In Bel Topat Klao'''. Artinya, tempat pemberian hasil panen. Di masa lalu, pantai ini menjadi tempat melaksanakan upacara adat pasca panen dengan memersembahkan hasil panen dan penyembelihan hewan ternak. Seluruh penduduk ikut berpartisipasi pada kegiatan ini. Tempat lain, ada pula yang diberi nama ''Luihoen'', yakni pantai perahu pecah. Dulu, ada perahu yang pecah di pantai itu karena menabrak karang.
'''Pantai Ludao, Pantai Uiklisbu, Pantai Laen Ana, dan Pantai Hlulikud (Desa Naikean)'''
'''Naikean''' berarti tempat naik penyu. Disebut begitu karena pada era 1970- 1990 pantai di desa tersebut menjadi tempat penyu-penyu menyimpan telur. Ada empat pantai yang diberi nama karena terkait dengan peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa lalu.
'''''Pantai Ludao''''' berarti ''Pantai Cemara Ndao''. Ini adalah tempat pendaratan perahu nelayan dari Pulau Rote pada 1970-1980.
'''''Pantai Uiklisbu''''' diberi nama sama dengan sejenis tumbuhan yang tumbuh berumpun di sekitar pantai, pohon ''Uiklisbu''. Sayang, pohon ini sudah tidak ada lagi di pantai itu.
'''''Pantai Laen Ana''''' berarti pantai pasir kecil, sedangkan '''Pantai Hlulikud''' adalah tempat putar perahu nelayan hingga sekarang.
Selain pantai, di Desa Naikean juga terdapat dua gua, yakni ''Liang Malus'' (Gua Sirih) dan ''Liang Fau'' (Gua Kelelawar). Di Naikean juga terdapat kegiatan mencari [[Ikan Napoleon|ikan]] atau hasil laut lain disaat laut sedang surut. Kegiatan ini disebut ''pele'' atau ''suluh''.
== Sumber: ==
Lopulalan, Dicky. 2016. Semau Beta. Denpasar: Bali Lite Institute <references />
[[Category:Pulau Semau]]
[[Category:Pertanian]]
[[Category:Perikanan]]

Latest revision as of 04:22, 7 February 2025

Asal Muasal Semau dan Sistem Pembagian Lahan

Secara garis besar, masyarakat Semau berasal dari dua etnis utama yaitu etnis Helong dan etnis Rote. Etnis Helong dianggap sebagai penduduk asli sedangkan etnis Rote adalah pendatang. Di desa-desa dengan mayoritas etnis Helong, penduduk umumnya berasal dari beberapa klan utama yang juga tuan tanah atau bangsawan.

Sistem pemerintahan di Semau relatif sederhana[1]. Otoritas dan fungsi pemerintahan terkecil berada tunggal di tangan tuan tanah (Dale Lam Tua). Dale Lam Tua adalah pemegang hak kesulungan patrilineal dari klan tertua. Karenanya, ia menguasai tanah klan yang disebut Dale Ngalak, terdiri dari perkampungan (ingu), kebun (klapa), dan hutan (alas). Tetapi, klan tuan tanah bisa juga klan baru yang mendapatkan tanah melalui barter dengan ternak besar dengan klan terdahulu. Karena itu, penguasaan tanah seorang Dale Lam Tua bisa mencakup lebih dari satu ingu. Sebaliknya, beberapa Dale Lam Tua berbagi penguasaan tanah di satu ingu.

Selain Dale Lam Tua, ada pula otoritas atau fungsi sosial yang disebut Kaka Ama. Ia adalah kepala klan. Tiap-tiap klan, baik klan tuan tanah atau klan-klan pendatang (penggarap) memiliki seorang Kaka Ama. Tidak seperti Dale Lama Tua yang kekuasaannya diwariskan seturut jalur keturunan sulung patrilineal, seorang Kaka Ama adalah tokoh yang dipilih oleh anggota klan dari para tetua klan itu. Biasanya laki-laki. Kaka Ama juga bukan sebuah otoritas atau fungsi pemerintahan. Kaka Ama ini semacam tetua adat yang mengatur persoalan-persoalan adat. Berperan memimpin atau mewakili keluarga di dalam urusan kelahiran, perkawinan, kematian hingga problematika rumah tangga sehari-hari.

Pembagian Tanah dan Aktivitas Bercocok Tanam

Sejak pembagian tanah disepakati bersama klan-klan yang lain, keturunan klan Putis Lulut pun beraktivitas penuh di bagian utara. Mereka membuka/ membabat hutan dan membakar semak belukar (ngulun klapa), mengolah tanah dan memagari lahan (paha klapa), menabur benih (hai ngae), melakukan penyiangan (topa bati).

Mereka menetap di satu tempat, melakukan serangkaian aktivitas bercocok tanam selama tiga sampai empat musim tanam. Satu kali musim tanam berlangsung selama tiga sampai empat bulan. Setelah itu, mereka akan berpindah ke lokasi lain. Kemudian berpindah lagi, bisa ke lokasi sebelumnya, bisa juga ke tempat lain. Mereka percaya, dengan sistem ladang berpindah ini mereka bisa bertahan hidup dan alam tidak rusak.

Tahapan Bercocok Tanam

Tahap pertama bercocok tanam di masa itu diawali dengan membuka atau membabat hutan (ngulun klapa) dan membakar semak belukar di lahan kosong, yang tidak ada tanaman produktif dan dilakukan sebelum musim hujan.

Jika lahan sudah bersih dan mulai ada hujan satu sampai dua kali, dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu menabur benih pada hujan ketiga di bulan sebelas (Ngul Esa). Pada saat itu, benih yang akan ditabur, terlebih dulu dibungkus kain adat dan dilakukan upacara soko haile dengan sarana sirih pinang untuk memohon izin kepada Tuhan agar diberkati.

Apabila tanaman sudah tumbuh dan mulai ada gulma, dilakukan penyiangan. “Semangka bisa ditanam bersamaan deng jagung. Ada juga butale (kacang buncis), utan isin (labu), dan sedikit ale (padi). Tiga bulan kemudian hopong ngae sebagai wujud syukur bahwa Tuhan su kasih hasil panen" kata Amos[2].

Tahap selanjutnya adalah persiapan panen (ngae latu) yang dilanjutkan dengan ritual bakar jagung (hopong ngae tutu saha). Bakar jagung secara harfiah dikaitkan dengan makan semangka. “Hopong ngae tutu saha, bakar jagung makan semangka. Itu yang paling ditunggu-tunggu,” ujar Salmon[2].

Masyarakat Helong memiliki peraturan untuk tidak mengambil hasil kebun sebelum hasil pertama dipersembahkan kepada Tuhan. Hopong ngae, tutu saha adalah momen pengucapan syukur atas hasil kebun sekaligus penanda hasil kebun berupa jagung muda, sayur dan buah-buahan sudah boleh diambil untuk dikonsumsi.

Pulau-Pulau Kecil di Sekitar Semau

Pulau Kera

Pulau Kera, pulau kecil di timur laut Semau, masuk dalam TWAL (Taman Wisata Alam Laut) Teluk Kupang. Pulau itu banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar. Pasir pantainya halus dan putih. Sangat beda dengan tekstur pasir di Pulau Semau dan Pulau Timor. Perairannya juga istimewa karena kaya dengan terumbu karang dan pelbagai jenis ikan karang. Ombak yang tenang bikin kita ingin segera berenang di laut. Atau, main pasir di pantai sambil menikmati pemandangan lautnya yang indah sekali.

Awalnya pulau ini hanya sebagai tempat persinggahan sementara para nelayan dari Suku Bajo sejak masa pendudukan Jepang. Sekarang, jadi tempat hunian suku tersebut. Mereka secara administrasi tercatat sebagai warga Semau dan tidak memiliki bukti kepemilikan lahan di Pulau Kera karena tidak diizinkan pemerintah.

Pulau Kambing (Kambang)

Selain Pulau Kera, ada pulau kecil lain yang masuk dalam TWAL, yakni Pulau Kambing. Jangan bayangkan di pulau itu banyak kambingnya. Tidak ada sama sekali. Malah, kata seorang warga asal Pulau Semau, ada banyak rusa di pulau itu.

Pantai Pulau Kambing memiliki kekayaan tak ternilai, jika kita teliti melihatnya. Pantainya yang tidak berpasir, dipenuhi oleh batu-batu aneka bentuk dan ukuran, sering kali mengecoh pengunjung. Padahal, jika jeli, vegetasi yang tumbuh di atas karang pantai sangatlah unik, yakni ekosistem pohon santigi (Pempis acidula) yang banyak tumbuh di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil berkarang. Pohon ini salah satu spesies mangrove yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di daerah pantai.

Di Pulau Kambing, ada banyak pohon ini. Salah satunya, berukuran sekitar tujuh meter dengan diameter batang hampir 30 sentimeter (cm). Syukurlah pohon-pohon ini dapat hidup aman di Pulau Kambing ini. Di Pulau Semau, pohon ini sudah langka karena pernah terjadi pembongkaran besar-besaran untuk dijual ke Kupang.

Di kalangan pencinta olahraga bahari, perairan Pulau Kambing termasuk destinasi petualangan yang masuk “daftar harus dikunjungi”. Terumbu karangnya yang subur dan tersebar luas di perairan yang jernih adalah tempat paling diincar para penyelam dan fotografer bawah air. Sedangkan untuk para pemancing, perairan Pulau Kambing adalah habitat ikan Burugahing (Giant Trevally) atau biasa disebut juga “GT Monster”. Seorang pemancing dari sebuah program di televisi swasta bahkan menyebut Pulau Kambing sebagai “Pusat GT Monster Nasional”. Rata-rata bobot ikan GT Monster yang berhasil dipancing dengan mudah di tempat ini berukuran 35-40 kilogram (kg). Big strikes!

Pulau Tabui

Salah satu pulau satelit Semau yang masuk dalam Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu ini, punya kesan tersendiri untuk masyarakat Semau. Pulau ini dianggap punya kekuatan mistik. Tak banyak nelayan yang mau mengantarkan pengunjung ke pulau ini. Konon, di pulau ini kita tidak boleh bersuara, baik bercakap-cakap, bernyanyi, atau bersiul. Kita juga tidak boleh mencuci alat masak di pantai, tidak boleh membunuh atau mengambil satwa yang hidup di daratan Pulau Tabui. Jika dilanggar, kita tidak akan bisa kembali ke Pulau Semau atau Pulau Timor karena bisa saja mendadak gelombang laut akan membesar sehingga kapal tak bisa melewatinya.

Menurut Kepala Desa Utiuhtuan Samuel Lassi dalam sebuah percakapan sambil mengudap “pop corn” jagung bunga khas Semau, “tabui” dalam bahasa Helong berarti “ubi”. Dan, memang, di pulau itu terdapat beragam jenis ubi hutan, selain santigi dan aneka pohon besar khas pulau kecil. Tabui juga memiliki banyak kolam air tawar dan payau, gua-gua karst yang berisikan kelelawar dan walet. Di pulau tersebut juga terdapat satwa liar lain seperti ular, tikus besar dan baikumang atau umang-umang kenari (Birgus latro).

“Ukuran baikumang di pulau itu besar-besar, lebih besar dari kucing dewasa,” kata Samuel Lasi menjelaskan antropoda darat terbesar di dunia yang lebih dikenal dengan sebutan ketam kenari atau kepiting kelapa di Maluku ini.

Pulau Merah

Ada lagi satu pulau kecil tak berpenghuni, luasnya tidak lebih dari dua hektar. Pulau ini berupa lahan pasir yang landai dan ditumbuhi tanaman pesisir seperti bidara laut. Namanya, Pulau Merah. Pulau ini terhubung dengan Pulau Semau melalui semacam koridor pasir yang terendam ketika air pasang. Tak ada sumber air tawar ataupun satwa yang hidup di pulau ini. Di kalangan masyarakat sekitar, pulau ini punya cerita tersendiri. Pulau ini konon tempat bertapa para swanggi.

Pantai-Pantai di Sekitar Pulau Semau

Pantai Bahalote, Uibua, Onandela, Maihbakilin, Amameda, Bautedas, dan Lutuan (Desa Uiasa)

Memiliki karakteristik pasir pantai yang sama, putih dan lembut seperti tepung beras. Di Pantai Bahalote, perbatasan dengan Desa Letbaun, disana dapat kita temui cemara dan pandan laut. Sedangkan di Pantai Maebakilin, Amameda dan Onantuan, terdapat pohon tenge (sejenis mangrove).

Pantai Letbaun (Desa Letbaun)

Salah satu pantai di Pulau Semau (foto: Semau Beta, hlm 95)

Pantai ini berpasir putih dengan air laut biru muda. Sebagian pantai digunakan sebagai tempat berladang rumput laut. Kita bisa menemui kulit-kulit kima berisikan air laut yang disusun berjajar rapi pinggiran pantai. Ini wadah produksi garam tradisional. Air laut yang ditampung dalam kulit kima akan berubah menjadi kristal-kristal garam ketika air diuapkan sinar matahari yang terik. Selain pantai, kita juga dapat mendatangi tiga gua karst yang ada di Desa Letbaun. Masing-masing gua tersebut memiliki kolam air, ada yang tawar, payau dan asin. Di dalam gua kita dapat menemui stalaktit dan stalakmit, serta penghuni gua: burung walet dan kelelawar.

Pantai Batuinan (Desa Batuinan)

Bibir pantai ini berupa karang-karang tajam dan runcing dengan formasi yang unik. Air lautnya sangat jernih berwarna biru muda. Ombak di pantai cukup besar sehingga dapat menimbulkan cipratan yang tinggi saat menghantam tepi pantai karang.

Pantai Otan (Desa Otan)

Untuk sampai ke pantai ini, kita akan melewati perkampungan penduduk dengan rumah-rumah bergaya tradisional: berdinding bambu atau pelepah lontar dan beratap ilalang. Pantai Otan paling populer di Pulau Semau. Sepanjang mata memandang hanya terlihat pantai berpasir putih dan laut luas membentang. Suasana di tempat ini sangat tenang karena tak banyak orang yang datang berkunjung. Beberapa bagian pantai mulai ditanami rumput laut.

Pantai Hlengan, Pantai Onanbalu, dan Pantai Uimake (Desa Bokonusan)

Sebelum masuk Pantai Hlengan, kita akan melewati hamparan padang rumput luas, hijau saat bulan-bulan basah dan coklat keemasan sepanjang musim kering. Hamparan batu karang di bibir kiri menjadi ciri tempat ini. Di pantai dengan panjang lebih dari tiga kilometer ini, sesekali dapat dilihat aksi burung camar menyambar ikan di laut dengan cakarnya. Beberapa pohon asam besar tumbuh di sekitar pantai.

Pantai Onanbalu terletak di Teluk Onanbalu. Pantainya sendiri memiliki karakteristik yang panjang. Terdapat banyak petani rumput laut di pantai ini. Perdu di pinggir pantai dapat menjadi tempat berteduh yang cukup nyaman untuk menikmati pemandangan laut.

Setelah melewati jalan menanjak tak jauh dari Desa Bokonusan, di sebelah kiri jalan, jauh di bawah tebing terdapat Pantai “rahasia” Uimake. Tak banyak orang tahu pantai ini karena letaknya yang agak tersembunyi di bawah tebing dan jauh dari perkampungan.

Ukuran pantai ini tak lebih dari 200 meter. Kanan kirinya dipagari karang-karang besar, seperti tembok perlindungan bagi mereka yang mencari tenang di tempat ini. Untuk menuju pantainya kita harus menuruni bukit terlebih dahulu karena memang letak pantainya ada di bawah bukit. Batu karang di pantai seperti jamur, menciptakan naungan bagi pengunjung yang ada di bawahnya.

Pantai berpasir putih bersih berpadu dengan air laut jernih hijau kebiruan akan langsung memerangkap pengunjung dalam ketakjuban. Pohon kosambi besar dan kokoh mencengkram batu karang, pohon asam yang gondrong dan pohon santigi yang meliuk bak penari, memberi jiwa purba pada pantai itu. Bonusnya, sewaktu waktu burung bangau mendarat di pasir untuk menelan ikan tangkapannya atau sekadar hinggap saja. Saat berada di sana, kita seperti masuk dunia masa lalu, dunia keindahan alami.

Pantai Uinian dan Pantai Uilhaen Ana (Desa Uiboa)

Pantai Uinian terletak di belakang perkampungan. Tumbuhan pesisir, utamanya pandan laut hidup di pinggiran pantai. Perairan di depan pantai ini kaya dengan terumbu karang, tempat ideal untuk snorkeling maupun diving. Pasir putih terhampar di pantai ini. Oleh masyarakat, pasir ini dimanfaatkan untuk membuat batako, bahan baku bangunan rumah.

Pantai Uilhaen Ana terletak di sebelah Pantai Uinian, diapit oleh dua tanjung karang. Pohon-pohon kelapa tumbuh di pinggiran pantai, seperti barisan payung raksasa yang memberikan naungan dan udara sejuk. Tumpukan batu di sekitar pasir pantai memberi aksentuasi kedalaman, seperti Taman Zen di masyarakat Jepang. Keistimewaan pantai ini bertambah dengan mata air yang ada di dalam gua kecil. Airnya tawar. Oleh masyarakat, air dari sumber itu dimanfaatkan untuk menyiram kebun-kebun bawang merah yang tak jauh dari pantai tersebut.

Pantai Onan Mata, Pantai Tano, dan Pantai Bolhua (Desa Uitiuhtuan)

Panjang Pantai Onan Mata sekitar 500 m dengan pasir yang sangat halus. Dalam bahasa lokal, pantai ini disebut juga dengan Luh Sing atau Pantai Cemara. Memang, sepanjang pantai ini berbaris bak tentara pohon-pohon cemara yang rindang. Beberapa pohon kom (akasia afrika) juga tumbuh disini. Arus di perairan ini tidak terlampau kuat, sangat cocok untuk berenang. Pantai ini juga menjadi tempat bagi nelayan menyandarkan perahu.

Pantai Tano atau Tanao Ana (Pantai Kecil) hanya berjarak 50 m dari Onan Mata. Hanya sedikit pasir, kebanyakan batu-batu karang yang menjorok ke air. Di daratan pantai, banyak tumbuh pohon santigi dengan tonjolan urat dan otot pohon seperti atlet binaraga. Salah satu pohon itu disebut sebagai Maek So. Dulu, menjadi tempat bagi masyarakat Semau untuk meminta hujan. Dari pinggiran pantai ini, kita bisa melihat camar beterbangan dan sesekali menukik menangkap ikan dengan cakar tajam mereka.

Bolhua berarti “melahirkan” dalam Bahasa Helong. Pantai ini disebut Bolhua (kadang Kolhua), konon, karena ada seorang ibu yang melahirkan di sekitar pantai ketika sedang melakukan perjalanan dengan kelompok warga yang lain. Pantai ini terletak di sebelah Bukit Liman dan berhadapan dengan Pulau Tabui. Pandan laut banyak di pantai ini. Ombak di perairan ini cukup kuat, tidak cukup aman untuk berenang.

Di luar tiga pantai tersebut, masyarakat Uitiuhtuan juga punya pantai pantai khusus yang memiliki kaitan dengan masa lalu. Misalnya, Pantai Bolo Nabeno Man In Bel Topat Klao. Artinya, tempat pemberian hasil panen. Di masa lalu, pantai ini menjadi tempat melaksanakan upacara adat pasca panen dengan memersembahkan hasil panen dan penyembelihan hewan ternak. Seluruh penduduk ikut berpartisipasi pada kegiatan ini. Tempat lain, ada pula yang diberi nama Luihoen, yakni pantai perahu pecah. Dulu, ada perahu yang pecah di pantai itu karena menabrak karang.

Pantai Ludao, Pantai Uiklisbu, Pantai Laen Ana, dan Pantai Hlulikud (Desa Naikean)

Naikean berarti tempat naik penyu. Disebut begitu karena pada era 1970- 1990 pantai di desa tersebut menjadi tempat penyu-penyu menyimpan telur. Ada empat pantai yang diberi nama karena terkait dengan peristiwaperistiwa yang terjadi pada masa lalu.

Pantai Ludao berarti Pantai Cemara Ndao. Ini adalah tempat pendaratan perahu nelayan dari Pulau Rote pada 1970-1980.

Pantai Uiklisbu diberi nama sama dengan sejenis tumbuhan yang tumbuh berumpun di sekitar pantai, pohon Uiklisbu. Sayang, pohon ini sudah tidak ada lagi di pantai itu.

Pantai Laen Ana berarti pantai pasir kecil, sedangkan Pantai Hlulikud adalah tempat putar perahu nelayan hingga sekarang.

Selain pantai, di Desa Naikean juga terdapat dua gua, yakni Liang Malus (Gua Sirih) dan Liang Fau (Gua Kelelawar). Di Naikean juga terdapat kegiatan mencari ikan atau hasil laut lain disaat laut sedang surut. Kegiatan ini disebut pele atau suluh.

Sumber:

Lopulalan, Dicky. 2016. Semau Beta. Denpasar: Bali Lite Institute

  1. Penelitian yang dilakukan Perkumpulan PIKUL tahun 2014
  2. 2.0 2.1 Buku Sangia, hal. 108