Tenun Biboki

From Akal Lokal
Revision as of 09:04, 20 March 2025 by Lia de Ornay (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)

Hampir sebagian besar perempuan Biboki menjadikan tenun sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga. Mereka menenun dan memahami beragam motif secara turun temurun. Pengerjaannya, rata-rata masih tradisional dengan menggunakan alat-alat tradisional. Para penenun membuat alat-alat sendiri dengan menggunakan bahan dari kayu pilihan, bebak, dan bambu. Alat-alat ini dibuat secara sederhana, mudah dibawa ke mana saja, misalnya dibawa ke kebun pada saat menjaga burung pipit.[1]

Di dalam piramida ekonomi keluarga, pondasi dasarnya adalah tenun, kemudian ternak dan kebun. Tenun terbukti bisa menjadi penyangga ekonomi keluarga ketika produksi bahan pokok makanan (seperti padi ladang, jagung, kacang-kacangan) yang ditanam masyarakat mengalami gagal panen[1].

Jenis Tenun Biboki

Di kalangan masyarakat Biboki, dikenal tiga jenis kain tenun khas biboki, yaitu kain tenun ikat (futus), sotis dan buna. Yang membedakan ke tiganya ada pada teknik pembuatannya.

  1. Tenun ikat (futus), teknik tenunnya dilakukan dengan cara mengikat benang pakan dan benang lungsi.
  2. Sotis, teknik tenunnya tanpa diikat, motif langsung ditenun dengan memasukkan benang secara langsung.
  3. Sedangkan buna, teknik tenunnya menggunakan teknik songket.[1]


Dari ketiga jenis ini, futus yang paling banyak dikembangkan. Futus berarti ikat. Maksudnya, untuk mendapatkan motif yang diharapkan, para penenun mengikat bagian-bagian benang tertentu sesuai gambar yang hendak ditampilkan, misalnya binatang atau tumbuhan. Selanjutnya, benang yang sudah diikat dicelupkan ke dalam pewarna. Setelah kering, ikatan tadi dibuka dan akan terlihat gambar yang diinginkan.[1]

Bentuk Kain Tenun Biboki

Bentuk kain ada yang berupa kain beti/ bet nae (lebar, berupa lembaran), kain tais (untuk perempuan biasanya dikombinasikan dengan buna, jadilah tais buna), bet ana / selendang, futu/ ikat pinggang.[1]

Nilai Tenun Ikat Biboki[1]

Kain tenun Ikat Biboki dikatakan unik karena mengandung 6 hal pokok/nilai, yaitu:

  1. Nilai Kebersamaan dan Kegotongroyongan: di masa lampau, para perempuan berkumpul atau berkelompok untuk memintal benang (Nasun Abas Nabua). Kebiasaan ini menjadi semarak ketika kegiatan memintal benang dilaksanakan pada saat bulan purnama disertai gelak tawa.
  2. Nilai Keindahan/Estetis: ragam/jenis dan motif-motif tenun biboki sangat beragam, mulai dari beti (kain lebar biasanya untuk laki-laki), tais (kain untuk perempuan), bet ana (selendang), futu (ikat pinggang) hingga buna. Demikian juga penggunaan warna yang dominan merah.
  3. Nilai Etik: mewarnai tata busana pemakaian sehari-hari dan pesta, sehingga orang dapat membedakan pemakaian sehari-hari dan pesta serta menghormati kedudukan dan status sosial yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
  4. Nilai Budaya: Kain tenun Ikat motif Biboki yang terbuat dari bahan kapas asli dan pewarna alami adalah bukti kearifan lokal yang berlaku secara turun-temurun perlu didukung pelestariannya.
  5. Nilai Religius: Kain tenun Ikat Biboki sebagai media yang dapat dipakai untuk memuja/sembahyang kepada leluhur, karena kain tenun Ikat diyakini mempunyai kekuatan untuk mejauhkan musibah.
  6. Nilai Ekonomis: Kain tenun Ikat Biboki merupakan sumber penghasilan keluarga, khususnya selama musim kering ketika penduduk tidak mengerjakan kegiatan pertanian di kebun.

Motif-motif Tenun Biboki

Munculnya motif Biboki dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungan setempat, binatang, mitos yang berkembang/hewan mitolgi. Misalnya suatu daerah banyak terdapat jenis burung, di daerah tersebut akan berkembang motif burung[2]. Dulu motif tenun diturunkan secara turun menurun, dari generasi ke generasi. Sekarang, motif ini berkembang mengikuti zaman.[1]

Secara umum, beberapa motif tenun biboki yang berkembang secara turun temurun hingga motif terkini diantaranya: Fut Biboki (biboik), makaif (1-20), fut batola, hausufa, nik no’o, noa no’o, beabkataf, kolo/ burung, bintang, telinga hitam, batako, arloji hingga katak Jawa.[1]

Beberapa motif menjadi ciri khas daerah sehingga ketika orang melihat motif, bisa menebak dari mana orang tersebut berasal.[1]

Di Desa Tokbesi, berikut adalah motif-motif yang saat ini dikembangkan:[1]

  1. Makaif (Mulai dari makaif mese hingga makaif boes. Motif ini bermacam-macam. Salah satunya berwarma hitam putih)
  2. Fut Biboki (biboik) ana,
  3. Kikis mutih nik no’o.
  4. Makaif kombinasi buna
  5. Hausufa (bunga).
  6. Nia nok’o (motif daun pria/ parea/ pare yang kecil dan besar)
  7. Nik no’o.
  8. Buna nia no’o naik (kombinasi songket daun parea besar).

Munculnya motif-motif baru ditengarai sejak dimulainya persentuhan para penenun Biboki dengan ‘dunia luar’ dan mulai masuknya benang-benang toko dan pewarna sintetis seperti naptol dan wantek. [1]

Ornamen Tenun Biboki

Ornamen-ornamen lain yang menjadi ciri khas tenun Biboki ialah adanya motif-motif kecil seperti puah kebe, oe mata, mat bobo, kikis muti, kikis metan.[1]

Ciri khasnya dari nenek moyang merupakan lambang dari Biboki, Mak aif Mese, Mak Aif Sa, Mat Bobo (Mata Bulat), Mak aif Feten (Mak aif yang lepas-lepas). Mak aif artinya bersambung, dan Feten artinya dibagi bagi marga (beda-beda marga) yang mencerminkan banyak marga, kawin mengawin dan diikat menjadi keluarga dan beranak.[1]

Sumber:

Palupi, Ning. 2023. Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki. Yogyakarta: Terasmitra

  1. 1.00 1.01 1.02 1.03 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 1.10 1.11 1.12 Palupi, Ning. 2023. Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki. Yogyakarta: Terasmitra (hal. 19)
  2. John Amsikan (Kepala protokol Kabupaten TTU)