Tahapan menenun: Difference between revisions
No edit summary |
Lia de Ornay (talk | contribs) No edit summary |
||
| Line 2: | Line 2: | ||
== '''Memintal Benang''' == | == '''Memintal Benang''' == | ||
Menenun awalnya menggunakan kapas. Orang Mollo mengenal tanaman kapas di hutan, bukan sebagai bahan pembuat benang. Sebutan kapas atau ''a bas'' bermula dari ulat berwarna hitam yang disebut ''bankofak'', yang hidup pada pohon ''Kanunak'' (''Lindera sp''). Ulat tersebut membuat sarang putih seperti kapas yang disebut ''ab neno''. Kapas mirip ''ab neno'', maka ia diberi sebutan ''a bas'', yang artinya merangkul. Belakangan mereka mencoba menanam biji kapas dan ternyata tumbuh dengan baik. Sejak itu mereka membudidayakan kapas sebagai bahan membuat benang.<ref name=":0">Maimunah, Siti. 2017. [https://drive.google.com/file/d/1uNizeFF1OGRJtdFIWVBq0KjFeYssRIcc/view?usp=sharing Tenun dan Para Penjaga Identitas]. Jakarta: Poros Photo, Perhimpunan Lawe, Organisasi Attaemamus (OAT), dan GEF SGP Indonesia</ref> | Menenun awalnya menggunakan kapas. Orang Mollo mengenal tanaman kapas di hutan, bukan sebagai bahan pembuat benang. Sebutan '''kapas atau ''a bas''''' bermula dari ulat berwarna hitam yang disebut '''''bankofak''''', yang hidup pada pohon '''''Kanunak''''' (''Lindera sp''). Ulat tersebut membuat sarang putih seperti kapas yang disebut ''ab neno''. Kapas mirip ''ab neno'', maka ia diberi sebutan ''a bas'', yang artinya merangkul. Belakangan mereka mencoba menanam biji kapas dan ternyata tumbuh dengan baik. Sejak itu mereka membudidayakan kapas sebagai bahan membuat benang.<ref name=":0">Maimunah, Siti. 2017. [https://drive.google.com/file/d/1uNizeFF1OGRJtdFIWVBq0KjFeYssRIcc/view?usp=sharing Tenun dan Para Penjaga Identitas]. Jakarta: Poros Photo, Perhimpunan Lawe, Organisasi Attaemamus (OAT), dan GEF SGP Indonesia</ref> | ||
Ada dua jenis kapas untuk bahan tenun, yang bunganya berserat panjang banyak ditemukan di kawasan Mollo, sementara yang berserat pendek banyak ditemukan kawasan pesisir Amanuban. Kapas yang dipanen dari pohon kapas mengalami berbagai tahapan perlakuan sebelummenjadi benang. Perlakuan itu meliputi: 1) memisahkan kapas dari biji, 2) merenggang dan melembutkan kapas, 3) mengulung kapas, 4) memintal benang, dan 5) menggulung benang.<ref name=":0" /> | Ada dua jenis kapas untuk bahan tenun, yang bunganya berserat panjang banyak ditemukan di kawasan Mollo, sementara yang berserat pendek banyak ditemukan kawasan pesisir Amanuban. Kapas yang dipanen dari pohon kapas mengalami berbagai tahapan perlakuan sebelummenjadi benang. Perlakuan itu meliputi: 1) memisahkan kapas dari biji, 2) merenggang dan melembutkan kapas, 3) mengulung kapas, 4) memintal benang, dan 5) menggulung benang.<ref name=":0" /> | ||
| Line 13: | Line 13: | ||
== '''Mewarnai''' == | == '''Mewarnai''' == | ||
Setelah benang disiapkan dalam bentuk kepala benang, tahap selanjutnya mewarnai. Pewarna alam kain tenun biasanya diambil dari halaman rumah, kebun, maupun hutan. Pewarna alam berasal dari akar, daun, kulit, buah, dan bunga tanaman. Awalnya warna | Setelah benang disiapkan dalam bentuk kepala benang, tahap selanjutnya mewarnai. [[Meramu Pewarna Alam Tenun|Pewarna alam]] kain [[tenun]] biasanya diambil dari halaman rumah, kebun, maupun hutan. [[Meramu Pewarna Alam Tenun|Pewarna alam]] berasal dari akar, daun, kulit, buah, dan bunga tanaman. Awalnya warna [[tenun]]<nowiki/>an hanya putih, warna kapas. Kemudian, untuk mendapatkan warna putih cerah, benang direndam dalam cairan tumbukan jagung putih yang disebut ''bane''. <ref name=":0" /> | ||
Pada tahap ''bane'' tersebut, benang dicelup pada larutan tepung jagung atau tepung ubi yang sudah dicampur dengan air panas. Putar larutan satu arah agar tercampur. Pencelupan ini bertujuan membuat benang kaku, tidak mudah putus, serta terkunci warnanya. ''Bane'' dipakai hanya untuk warna putih. Setelah dicelup, benang dijemur di ''loan'', alat yang berfungsi mengencangkan benang. Begitu kering, benang digulung di batu kecil hingga berbentuk bola benang. <ref name=":0" /> | Pada tahap ''bane'' tersebut, benang dicelup pada larutan tepung jagung atau tepung ubi yang sudah dicampur dengan air panas. Putar larutan satu arah agar tercampur. Pencelupan ini bertujuan membuat benang kaku, tidak mudah putus, serta terkunci warnanya. ''Bane'' dipakai hanya untuk warna putih. Setelah dicelup, benang dijemur di ''loan'', alat yang berfungsi mengencangkan benang. Begitu kering, benang digulung di batu kecil hingga berbentuk bola benang. <ref name=":0" /> | ||
| Line 19: | Line 19: | ||
Temuan warna kemudian berkembang ke hitam. Warna ini didapat dari lumpur bercampur rumput yang sudah membusuk dari kubangan atau tepian danau. Berikutnya ditemukan warna merah dari rebusan kulit kasuari. Lambat laun makin beragam warna yang ditemukan, semuanya dari tanaman dan bahan lokal. Daftarnya sebagai berikut:<ref name=":0" /> | Temuan warna kemudian berkembang ke hitam. Warna ini didapat dari lumpur bercampur rumput yang sudah membusuk dari kubangan atau tepian danau. Berikutnya ditemukan warna merah dari rebusan kulit kasuari. Lambat laun makin beragam warna yang ditemukan, semuanya dari tanaman dan bahan lokal. Daftarnya sebagai berikut:<ref name=":0" /> | ||
* [[File:Daun Tarum.jpg|thumb|Daun Tarum. (Foto: TM untuk GEF SGP fase 7 / Lia de Ornay)]]Hitam, biasanya mengunakan daun tarum atau nila, pohon matoj, lumpur, juga akar meko (di Mollo) <ref name=":0" />. Sementara di Biboki, warna hitam dan biru nila dari daun tarum dan kapur sirih. Selain itu juga dapat dihasilkan dari kulit pohon ''nitas'', ''paukase''/ damar, ramuan daun (''maol taum'') daun ''asa manmunu'', kulit pohon damar indigo.<ref name=":1">Palupi, Ning. 2023. [https://drive.google.com/file/d/1i6qKRvUHpjDvlRGu4JVv9h9gtaTsR1ZT/view?usp=sharing Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki]. Yogyakarta: Terasmitra</ref> | * [[File:Daun Tarum.jpg|thumb|Daun Tarum. (Foto: TM untuk GEF SGP fase 7 / Lia de Ornay)]]'''Hitam''', biasanya mengunakan daun tarum atau nila, pohon matoj, lumpur, juga akar meko (di Mollo) <ref name=":0" />. Sementara di Biboki, warna hitam dan biru nila dari daun tarum dan kapur sirih. Selain itu juga dapat dihasilkan dari kulit pohon ''nitas'', ''paukase''/ damar, ramuan daun (''maol taum'') daun ''asa manmunu'', kulit pohon damar indigo.<ref name=":1">Palupi, Ning. 2023. [https://drive.google.com/file/d/1i6qKRvUHpjDvlRGu4JVv9h9gtaTsR1ZT/view?usp=sharing Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki]. Yogyakarta: Terasmitra</ref> | ||
* [[File:Buah Pohon Nitas.jpg|thumb|Buah pohon Nitas ''(Sterculia foetida)''. (Foto: TM untuk GEF SGP fase 7 / Lia de Ornay)]]Merah, didapat dari buah dan akar mengkudu, kulit cemara, buah kemiri, ''kis kase'' (''Lantana camara''), dan daun jati. Bisa juga menggunakan perasan air buah kesum atau rambutan hutan yang bijinya berwarna merah<ref name=":0" />. Orang Sabu Raijua-NTT biasa menggunakan buah pohon Nitas ''(Sterculia foetida)''. Di Biboki, biasa menggunakan kulit pohon dadap, kemiri, daun kayu cendana, daun pohon perdu yang ditumbuk sekaligus. Selanjutnya dicampur dengan air secukupnya untuk kebutuhan perendaman benang (tannin).<ref name=":1" /> | * [[File:Buah Pohon Nitas.jpg|thumb|Buah pohon Nitas ''(Sterculia foetida)''. (Foto: TM untuk GEF SGP fase 7 / Lia de Ornay)]]'''Merah''', didapat dari buah dan akar mengkudu, kulit cemara, buah kemiri, ''kis kase'' (''Lantana camara''), dan daun jati. Bisa juga menggunakan perasan air buah kesum atau rambutan hutan yang bijinya berwarna merah<ref name=":0" />. Orang Sabu Raijua-NTT biasa menggunakan buah pohon Nitas ''(Sterculia foetida)''. Di Biboki, biasa menggunakan kulit pohon dadap, kemiri, daun kayu cendana, daun pohon perdu yang ditumbuk sekaligus. Selanjutnya dicampur dengan air secukupnya untuk kebutuhan perendaman benang (tannin).<ref name=":1" /> | ||
* Biru, berasal dari ''makmoenabas, tauma/''tarum, ''fenianako'', ''nismetan''/ketapang hutan<ref name=":1" /> | * '''Biru''', berasal dari ''makmoenabas, tauma/''tarum, ''fenianako'', ''nismetan''/ketapang hutan<ref name=":1" /> | ||
* Merah muda, berasal dari campuran tumbukan akar ''kis kase'' dan kapur.<ref name=":0" /> Di Biboki, dapat dihasilkan dari buah kaktus<ref name=":1" /> | * '''Merah muda''', berasal dari campuran tumbukan akar ''kis kase'' dan kapur.<ref name=":0" /> Di Biboki, dapat dihasilkan dari buah kaktus<ref name=":1" /> | ||
* Kuning, dihasilkan dari parutan kunyit.<ref name=":0" /> Di Biboki, dapat dihasilkan dari tanaman kunyit, kulit akar ''bakulu''/ mengkudu, daun asam, dan air jeruk nipis.<ref name=":1" /> | * '''Kuning''', dihasilkan dari parutan kunyit.<ref name=":0" /> Di Biboki, dapat dihasilkan dari tanaman kunyit, kulit akar ''bakulu''/ mengkudu, daun asam, dan air jeruk nipis.<ref name=":1" /> | ||
* Oranye, hasil campuran parutan kunyit dan kapur.<ref name=":0" /> | * '''Oranye''', hasil campuran parutan kunyit dan kapur.<ref name=":0" /> | ||
* Hijau, dari daun ''arbila'' atau daun pinang.<ref name=":0" /> Di Biboki dihasilkan dari daun kacang hutan, daun pare, daun pepaya, daun pinang dan kulit pohon mangga.<ref name=":1" /> | * '''Hijau''', dari daun ''arbila'' atau daun pinang.<ref name=":0" /> Di Biboki dihasilkan dari daun kacang hutan, daun pare, daun pepaya, daun pinang dan kulit pohon mangga.<ref name=":1" /> | ||
* Coklat, berasal dari kulit kayu merah<ref name=":1" /> | * '''Coklat''', berasal dari kulit kayu merah<ref name=":1" /> | ||
* Putih, didapat dengan melakukan ''bane'', mencelupkan dalam larutan tepung jagung.<ref name=":0" /> | * '''Putih''', didapat dengan melakukan ''bane'', mencelupkan dalam larutan tepung jagung.<ref name=":0" /> | ||
Pewarnaan bisa dilakukan berulang-ulang sesuai kepekatan warna yang diinginkan. Setelah pewarnaan dirasa cukup, benang kemudian diangin-anginkan hingga kering. Biasanya para penenun tidak menjemur langsung di bawah terik matahari. | |||
Tahapan ini dilanjutkan dengan merenggangkan benang dan menggulungnya dalam bentuk bulatan. Teknis pewarnaan ini akan berbeda jika menggunakan motif ''futus'' atau ikat. Sebelum diwarnai, benang sudah harus disusun motifnya. Benang diikat menggunakan serat daun ''gewang'' (belakangan ini sudah menggunakan tali rafia) sesuai dengan motif yang diinginkan. Bagian yang diwarnai tidak diikat. Begitu seterusnya sehingga seluruh benang memiliki warna sesuai yang diharapkan<ref name=":0" /> | |||
== '''Menenun''' == | == '''Menenun''' == | ||
Usai mewarnai benang, diteruskan dengan tahapan menenun. Proses menenun menghabiskan banyak waktu. Penenun harus bisa memperkirakan berapa benang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sehelai kain tenun berdasarkan ukuran yang diinginkan. Belum lagi meletakkan motif, baik menggunakan motif ''futus'', ''lotis'', dan ''buna''. Paparan berikut akan menjelaskan peralatan apa saja yang digunakan saat menenun.<ref name=":0" /> | Usai mewarnai benang, diteruskan dengan tahapan menenun. Proses menenun menghabiskan banyak waktu. Penenun harus bisa memperkirakan berapa benang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sehelai kain [[tenun]] berdasarkan ukuran yang diinginkan. Belum lagi meletakkan motif, baik menggunakan motif ''futus'', ''lotis'', dan ''buna''. Paparan berikut akan menjelaskan peralatan apa saja yang digunakan saat menenun.<ref name=":0" /> | ||
# [[File:Hniun-1933.jpg|thumb|''Paos Niun/Niuna'' yang menggunakan karung bekas (Foto: Rosa Panggabean)]]''Paos Niun'' (bahasa Mollo)/Niuna (bahasa Biboki). Semacam papan elastis yang dipasang di punggung penenun dan diikat dengan tali pada kedua ujung atis sehingga ''lolo'' mengencang. Alat ini membuat poisisi duduk penenun kencang dan lurus. ''Paos niun'' menekan di antara ''nekan'', ''atis'', dan punggung. Di masa lalu alat ini biasanya dibuat dari kulit rusa atau kulit kambing. Zaman sekarang, menggunakan kertas bekas pembungkus semen atau karung plastik karena kulit rusa dan kulit kambing langka.<ref name=":1" /> | # [[File:Hniun-1933.jpg|thumb|''Paos Niun/Niuna'' yang menggunakan karung bekas (Foto: Rosa Panggabean)]]'''''Paos Niun'' (bahasa Mollo)/Niuna (bahasa Biboki)'''. Semacam papan elastis yang dipasang di punggung penenun dan diikat dengan tali pada kedua ujung atis sehingga ''lolo'' mengencang. Alat ini membuat poisisi duduk penenun kencang dan lurus. ''Paos niun'' menekan di antara ''nekan'', ''atis'', dan punggung. Di masa lalu alat ini biasanya dibuat dari kulit rusa atau kulit kambing. Zaman sekarang, menggunakan kertas bekas pembungkus semen atau karung plastik karena kulit rusa dan kulit kambing langka.<ref name=":1" /> | ||
# ''Lolo''. Alat untuk memasang benang pada alat tenun. ''Lolo'' membuat benang menegang sehingga memudahkan proses menenun dan membuat posisi benang rapat saat ditenun. Alat ini terdiri dari dua patok atas dan bawah, serta dua tali di bagian kiri dan kanan. Ukuran panjang dan lebar lolo bisa disesuaikan dengan keinginan penenun. | # '''''Lolo'''''. Alat untuk memasang benang pada alat tenun. ''Lolo'' membuat benang menegang sehingga memudahkan proses menenun dan membuat posisi benang rapat saat ditenun. Alat ini terdiri dari dua patok atas dan bawah, serta dua tali di bagian kiri dan kanan. Ukuran panjang dan lebar lolo bisa disesuaikan dengan keinginan penenun. | ||
# ''Panaf'' atau ''Atis''. ''Atis'' digunakan untuk menjepit benang atas dan benang bawah sehingga membentuk tenunan yang rapi dan kuat. Alat ini terdiri dari dua tangkup kayu dari batang kasuari yang menjepit kain di tengah-tengah. | # '''''Panaf'' atau ''Atis'''''. ''Atis'' digunakan untuk menjepit benang atas dan benang bawah sehingga membentuk tenunan yang rapi dan kuat. Alat ini terdiri dari dua tangkup kayu dari batang kasuari yang menjepit kain di tengah-tengah. | ||
# ''Nekan'' bersama ''Atis''. ''Nekan'' memiliki peran tak terpisahkan dengan ''atis''. Ia berfungsi mengencangkan benang yang sudah diatur dalam alat tenun, baik benang atas maupun bawah. ''Nekan'' di bagian ujung kaki, ''atis'' di bagian perut, dan ''paos niun'' di pinggang penenun bekerja bersama membuat benang menegang atau melentur sehingga bisa ditenun. Nekan dibuat dari bambu ataupun batang enau, sebesar ukuran ''ut'' besar. | # '''''Nekan'' bersama ''Atis'''''. ''Nekan'' memiliki peran tak terpisahkan dengan ''atis''. Ia berfungsi mengencangkan benang yang sudah diatur dalam alat tenun, baik benang atas maupun bawah. ''Nekan'' di bagian ujung kaki, ''atis'' di bagian perut, dan ''paos niun'' di pinggang penenun bekerja bersama membuat benang menegang atau melentur sehingga bisa ditenun. Nekan dibuat dari bambu ataupun batang enau, sebesar ukuran ''ut'' besar. | ||
# ''Senu''. Alat berbahan kayu ini mirip sebilah ''pedang''. ''Senu'' berfungsi merapatkan antar benang vertikal dan horisontal agar tak memiliki celah. | # '''''Senu'''''. Alat berbahan kayu ini mirip sebilah ''pedang''. ''Senu'' berfungsi merapatkan antar benang vertikal dan horisontal agar tak memiliki celah. | ||
# ''Sauban''. Alat berbentuk lonjong kecil dari bambu yang dililit dan terbungkus ujungnya dengan lilitan benang sehingga tidak mudah lepas. Cara kerja alat ini, dimasukkan dan dikeluarkan mengisi benang bagian tengah yang berlawanan arahnya dengan arah benang pada ''lolo''. ''Sauban'' yang sudah dimasukkan mengisi benang tengah disebut ''monaf.'' | # '''''Sauban'''''. Alat berbentuk lonjong kecil dari bambu yang dililit dan terbungkus ujungnya dengan lilitan benang sehingga tidak mudah lepas. Cara kerja alat ini, dimasukkan dan dikeluarkan mengisi benang bagian tengah yang berlawanan arahnya dengan arah benang pada ''lolo''. ''Sauban'' yang sudah dimasukkan mengisi benang tengah disebut ''monaf.'' | ||
# ''Pauf''. ''Pauf'' berperan memisahkan benang yang telah diatur dalam ''lolo''. Ia juga membuat benang atas dan bawah naik turun sehingga memudahkan ''sauban'' dan ''senu'' bekerja. ''Pauf'' dibuat dari bagian tengah kayu Kasuari. | # '''''Pauf'''''. ''Pauf'' berperan memisahkan benang yang telah diatur dalam ''lolo''. Ia juga membuat benang atas dan bawah naik turun sehingga memudahkan ''sauban'' dan ''senu'' bekerja. ''Pauf'' dibuat dari bagian tengah kayu Kasuari. | ||
# ''Ut''. ''Ut'' berupa batang bambu yang menahan ''pauf'' dan memisahkan benang atas dan bawah. ''Ut'' membedakan benang atas dan bawah sehingga memudahkan ''sauban,'' ''sial,'' dan ''senu'' mengisi benang tengah ataupun membuat motif. Bahan ''ut'' bisa dari bambu tabun, bisa juga dari kayu taduk. ''Ut'' ada dua, ''ut'' besar dan ''ut'' kecil. ''Ut'' besar untuk penahan puat sementara ''ut'' kecil untuk digerakkan dari muka ke belakang membedakan benang atas dan bawah. ''Ut'' besar berada di depan pauf, sementara ut kecil di belakangnya. | # '''''Ut'''''. ''Ut'' berupa batang bambu yang menahan ''pauf'' dan memisahkan benang atas dan bawah. ''Ut'' membedakan benang atas dan bawah sehingga memudahkan ''sauban,'' ''sial,'' dan ''senu'' mengisi benang tengah ataupun membuat motif. Bahan ''ut'' bisa dari bambu tabun, bisa juga dari kayu taduk. ''Ut'' ada dua, ''ut'' besar dan ''ut'' kecil. ''Ut'' besar untuk penahan puat sementara ''ut'' kecil untuk digerakkan dari muka ke belakang membedakan benang atas dan bawah. ''Ut'' besar berada di depan pauf, sementara ut kecil di belakangnya. | ||
Belakangan peralatan di atas bertambah dengan beberapa alat pelengkap, di antaranya: | Belakangan peralatan di atas bertambah dengan beberapa alat pelengkap, di antaranya: | ||
* ''Sial'', berbentuk lidi kecil dari bambu, yang berfungsi untuk mengatur motif. Biasanya ''sial'' dipasang lebih dari satu. Sial berbentuk batang pipih dengan ujung agak runcing. ''Sial'' dipasang di depan ''ut'' besar. Selain berfungsi membuat motif, sial juga menahan ''ut'' besar agar tetap di tempat- nya, juga untuk memisahkan benang atas dan bawah. | * '''''Sial''''', berbentuk lidi kecil dari bambu, yang berfungsi untuk mengatur motif. Biasanya ''sial'' dipasang lebih dari satu. Sial berbentuk batang pipih dengan ujung agak runcing. ''Sial'' dipasang di depan ''ut'' besar. Selain berfungsi membuat motif, sial juga menahan ''ut'' besar agar tetap di tempat- nya, juga untuk memisahkan benang atas dan bawah. | ||
* ''Lilin'' (''ninik''), alat ini digunakan untuk merapikan benang ketika benang mulai mengembang kembali menjadi kapas dan menjaga agar tenunan tidak lengket sehingga mudah dipisahkan. | * '''''Lilin''''' (''ninik''), alat ini digunakan untuk merapikan benang ketika benang mulai mengembang kembali menjadi kapas dan menjaga agar tenunan tidak lengket sehingga mudah dipisahkan. | ||
== Sumber: == | |||
[[Category:Tenun]] | [[Category:Tenun]] | ||
[[Category:Sosial dan budaya]] | [[Category:Sosial dan budaya]] | ||
Revision as of 09:28, 20 March 2025
Tahapan-tahapan menenun yang dilakukan oleh perempuan di Mollo, Amanuban, Amanatun, Biboki dan Sabu Raijua-Nusa Tenggara Timur (NTT)
Memintal Benang
Menenun awalnya menggunakan kapas. Orang Mollo mengenal tanaman kapas di hutan, bukan sebagai bahan pembuat benang. Sebutan kapas atau a bas bermula dari ulat berwarna hitam yang disebut bankofak, yang hidup pada pohon Kanunak (Lindera sp). Ulat tersebut membuat sarang putih seperti kapas yang disebut ab neno. Kapas mirip ab neno, maka ia diberi sebutan a bas, yang artinya merangkul. Belakangan mereka mencoba menanam biji kapas dan ternyata tumbuh dengan baik. Sejak itu mereka membudidayakan kapas sebagai bahan membuat benang.[1]
Ada dua jenis kapas untuk bahan tenun, yang bunganya berserat panjang banyak ditemukan di kawasan Mollo, sementara yang berserat pendek banyak ditemukan kawasan pesisir Amanuban. Kapas yang dipanen dari pohon kapas mengalami berbagai tahapan perlakuan sebelummenjadi benang. Perlakuan itu meliputi: 1) memisahkan kapas dari biji, 2) merenggang dan melembutkan kapas, 3) mengulung kapas, 4) memintal benang, dan 5) menggulung benang.[1]
- Memisahkan Kapas Dari Biji. Kapas yang baru dipetik biasanya diletakkan di atas nyiru, lantas dijemur hingga dirasa cukup kering untuk memudahkan pemisahan serat dari bijinya (abtutas). Ada biji kapas yang mudah dipisahkan dari seratnya, tapi ada juga yang sulit. Kapas dapat dipisahkan dari biji menggunakan tangan atau abninis/bninis/bninsa, alat dari kayu. Bentuk abninis mirip mol atau gilingan mie. Serat kapas yang masih mengandung biji dipipihkan dan dimasukan pelan-pelan ke dalam gilingan abninis. Serat kapas yang keluar dari penggilingan otomatis akan terpisah dari bijinya yang berjatuhan di kaki Abninis. Abninis terbuat dari kayu kasuari. Cara kerjanya sederhana. Serat kapas dimasukkan dari bagian belakang gilingan menggunakan tangan kiri, sementara tangan kanan menggerakkan pemutar gilingan. Dua roda dari kayu akan memisahkan serat dari biji kapas[1]. Di pulau Sabu-Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat disana biasa menyebut proses ini dengan Mangarri Wangngu. Proses ini menggunakan alat mangeri untuk mengeluarkan biji kapas yang tersisa.
- Melembutkan kapas. Setelah dibersihkan dari biji, serat kapas kemudian dilembutkan sehingga tidak lagi berbentuk gumpalan serat kapas. Serat kapas menjadi lebih lembut, merenggang, dan mudah dibentuk. Alat yang digunakan sifo yang berbentuk mirip busur. Bagian yang melengkung berasal dari bambu, sedangkan tali busur berasal dari tali pelepah pohon Gewang (Corypha utan). Cara menggunakan sifo, menempelkan bagian tali busur ke permukaan kapas dan menggetarkan tali busur tersebut berulang-ulang agar kapas menempel dan terpisah seratnya. Cara ini akan menghasilkan kapas yang bebas dari kotoran dan gumpalan sehingga solid saat dipintal dan menghasilkan benang dengan ketebalan seragam.[1]
- Menggulung Kapas. Kapas yang sudah dihaluskan lantas dipipihkan, dibuat gulungan seperti kepompong. Kegiatan menggulung ini disebut nunu (bahasa Mollo) atau O Nunu (bahasa Biboki). Hasilnya berupa gulungan kapas yang disebut nasun. Gulungan inilah bahan dasar untuk memintal benang.[1]
- Memintal benang atau Tasun.[2] Memintal gulungan kapas menjadi benang menggunakan alat yang dinamakan Ike suti. Alat ini terdiri dari dua bagian, lembing pendek dan tempurung tempat putaran. Ike terbuat dari kayu kasuari, bentuknya mirip lembing dengan panjang sekitar 25 cm, berujung runcing. Bagian kepala ike lebih kecil dibanding bagian badannya. Cara menggunakannya, pertama gulungan kapas ditempelkan pada kepala ike yang sudah dibasahi, kemudian diputar menari seperti gasing. Tangan kanan memutar ike, tangan kiri memegang gulungan kapas. Serat yang lepas dari gulungan kapas membentuk benang yang menempel pada ike. Suti menjadi arena yang membatasi putaran ike. Suti dalam bahasa lokal bermakna tempat kosong, arena yang hanya bisa dipakai ike berputar. Suti biasanya dibuat dari tempurung kelapa, tapi ada juga yang menggunakan kulit kerang besar. Pada bagian dasar tempurung dialasi bubuk kayu atau abu dapur untuk melincinkan putaran ike. Ike suti sarat filosofi. Lembing kecil ini diibaratkan tubuh perempuan. Bagian bawah perut, bagian atas dada. Saat pintalan benang memenuhi tubuh ike, maka ia harus digeser ke bagian atas, di bagian dada. Jika ike sudah penuh, disebut satu ike, maka bagian badan akan membuncit, demikian juga bagian dada akan terlihat cembung. Ia bagaikan bifel ma'apu atau perempuan hamil. Saat kondisi ini, memintal harus dihentikan sebab putaran ike akan terganggu jika dipaksakan ditambah benang. Artinya sudah waktunya melepaskan benang, memindahkannya dengan menggulungnya di sebuah batu atau potongan kayu hingga membentuk bola.[1]
- Menggulung Benang atau Taunu. Benang hasil tasun digulung dengan alat yang disebut none. Alat ini terbuat dari kayu mindi (Melia azedarach). None terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kayu panjang dan kayu pendek yang dipasang dengan arah berlawanan di kedua ujung bagian kayu panjang. Bagian panjang digunakan untuk memegang alat, sementara batang pendek untuk menautkan benang silih berganti. None membuat benang menjadi lurus. Hasilnya, gulungan benang yang disebut kepala benang. Satu gulungan disebut satu kepala benang. Gulungan ini akan memudahkan benang diurai saat dilakukan pencelupan warna. Sebelum diwarnai, kepala benang ini disimpan dalam nyiru atau keranjang dari daun lontar.[1]
Mewarnai
Setelah benang disiapkan dalam bentuk kepala benang, tahap selanjutnya mewarnai. Pewarna alam kain tenun biasanya diambil dari halaman rumah, kebun, maupun hutan. Pewarna alam berasal dari akar, daun, kulit, buah, dan bunga tanaman. Awalnya warna tenunan hanya putih, warna kapas. Kemudian, untuk mendapatkan warna putih cerah, benang direndam dalam cairan tumbukan jagung putih yang disebut bane. [1]
Pada tahap bane tersebut, benang dicelup pada larutan tepung jagung atau tepung ubi yang sudah dicampur dengan air panas. Putar larutan satu arah agar tercampur. Pencelupan ini bertujuan membuat benang kaku, tidak mudah putus, serta terkunci warnanya. Bane dipakai hanya untuk warna putih. Setelah dicelup, benang dijemur di loan, alat yang berfungsi mengencangkan benang. Begitu kering, benang digulung di batu kecil hingga berbentuk bola benang. [1]
Temuan warna kemudian berkembang ke hitam. Warna ini didapat dari lumpur bercampur rumput yang sudah membusuk dari kubangan atau tepian danau. Berikutnya ditemukan warna merah dari rebusan kulit kasuari. Lambat laun makin beragam warna yang ditemukan, semuanya dari tanaman dan bahan lokal. Daftarnya sebagai berikut:[1]
- Hitam, biasanya mengunakan daun tarum atau nila, pohon matoj, lumpur, juga akar meko (di Mollo) [1]. Sementara di Biboki, warna hitam dan biru nila dari daun tarum dan kapur sirih. Selain itu juga dapat dihasilkan dari kulit pohon nitas, paukase/ damar, ramuan daun (maol taum) daun asa manmunu, kulit pohon damar indigo.[3]
- Merah, didapat dari buah dan akar mengkudu, kulit cemara, buah kemiri, kis kase (Lantana camara), dan daun jati. Bisa juga menggunakan perasan air buah kesum atau rambutan hutan yang bijinya berwarna merah[1]. Orang Sabu Raijua-NTT biasa menggunakan buah pohon Nitas (Sterculia foetida). Di Biboki, biasa menggunakan kulit pohon dadap, kemiri, daun kayu cendana, daun pohon perdu yang ditumbuk sekaligus. Selanjutnya dicampur dengan air secukupnya untuk kebutuhan perendaman benang (tannin).[3]
- Biru, berasal dari makmoenabas, tauma/tarum, fenianako, nismetan/ketapang hutan[3]
- Merah muda, berasal dari campuran tumbukan akar kis kase dan kapur.[1] Di Biboki, dapat dihasilkan dari buah kaktus[3]
- Kuning, dihasilkan dari parutan kunyit.[1] Di Biboki, dapat dihasilkan dari tanaman kunyit, kulit akar bakulu/ mengkudu, daun asam, dan air jeruk nipis.[3]
- Oranye, hasil campuran parutan kunyit dan kapur.[1]
- Hijau, dari daun arbila atau daun pinang.[1] Di Biboki dihasilkan dari daun kacang hutan, daun pare, daun pepaya, daun pinang dan kulit pohon mangga.[3]
- Coklat, berasal dari kulit kayu merah[3]
- Putih, didapat dengan melakukan bane, mencelupkan dalam larutan tepung jagung.[1]
Pewarnaan bisa dilakukan berulang-ulang sesuai kepekatan warna yang diinginkan. Setelah pewarnaan dirasa cukup, benang kemudian diangin-anginkan hingga kering. Biasanya para penenun tidak menjemur langsung di bawah terik matahari.
Tahapan ini dilanjutkan dengan merenggangkan benang dan menggulungnya dalam bentuk bulatan. Teknis pewarnaan ini akan berbeda jika menggunakan motif futus atau ikat. Sebelum diwarnai, benang sudah harus disusun motifnya. Benang diikat menggunakan serat daun gewang (belakangan ini sudah menggunakan tali rafia) sesuai dengan motif yang diinginkan. Bagian yang diwarnai tidak diikat. Begitu seterusnya sehingga seluruh benang memiliki warna sesuai yang diharapkan[1]
Menenun
Usai mewarnai benang, diteruskan dengan tahapan menenun. Proses menenun menghabiskan banyak waktu. Penenun harus bisa memperkirakan berapa benang yang dibutuhkan untuk mendapatkan sehelai kain tenun berdasarkan ukuran yang diinginkan. Belum lagi meletakkan motif, baik menggunakan motif futus, lotis, dan buna. Paparan berikut akan menjelaskan peralatan apa saja yang digunakan saat menenun.[1]
- Paos Niun (bahasa Mollo)/Niuna (bahasa Biboki). Semacam papan elastis yang dipasang di punggung penenun dan diikat dengan tali pada kedua ujung atis sehingga lolo mengencang. Alat ini membuat poisisi duduk penenun kencang dan lurus. Paos niun menekan di antara nekan, atis, dan punggung. Di masa lalu alat ini biasanya dibuat dari kulit rusa atau kulit kambing. Zaman sekarang, menggunakan kertas bekas pembungkus semen atau karung plastik karena kulit rusa dan kulit kambing langka.[3]
- Lolo. Alat untuk memasang benang pada alat tenun. Lolo membuat benang menegang sehingga memudahkan proses menenun dan membuat posisi benang rapat saat ditenun. Alat ini terdiri dari dua patok atas dan bawah, serta dua tali di bagian kiri dan kanan. Ukuran panjang dan lebar lolo bisa disesuaikan dengan keinginan penenun.
- Panaf atau Atis. Atis digunakan untuk menjepit benang atas dan benang bawah sehingga membentuk tenunan yang rapi dan kuat. Alat ini terdiri dari dua tangkup kayu dari batang kasuari yang menjepit kain di tengah-tengah.
- Nekan bersama Atis. Nekan memiliki peran tak terpisahkan dengan atis. Ia berfungsi mengencangkan benang yang sudah diatur dalam alat tenun, baik benang atas maupun bawah. Nekan di bagian ujung kaki, atis di bagian perut, dan paos niun di pinggang penenun bekerja bersama membuat benang menegang atau melentur sehingga bisa ditenun. Nekan dibuat dari bambu ataupun batang enau, sebesar ukuran ut besar.
- Senu. Alat berbahan kayu ini mirip sebilah pedang. Senu berfungsi merapatkan antar benang vertikal dan horisontal agar tak memiliki celah.
- Sauban. Alat berbentuk lonjong kecil dari bambu yang dililit dan terbungkus ujungnya dengan lilitan benang sehingga tidak mudah lepas. Cara kerja alat ini, dimasukkan dan dikeluarkan mengisi benang bagian tengah yang berlawanan arahnya dengan arah benang pada lolo. Sauban yang sudah dimasukkan mengisi benang tengah disebut monaf.
- Pauf. Pauf berperan memisahkan benang yang telah diatur dalam lolo. Ia juga membuat benang atas dan bawah naik turun sehingga memudahkan sauban dan senu bekerja. Pauf dibuat dari bagian tengah kayu Kasuari.
- Ut. Ut berupa batang bambu yang menahan pauf dan memisahkan benang atas dan bawah. Ut membedakan benang atas dan bawah sehingga memudahkan sauban, sial, dan senu mengisi benang tengah ataupun membuat motif. Bahan ut bisa dari bambu tabun, bisa juga dari kayu taduk. Ut ada dua, ut besar dan ut kecil. Ut besar untuk penahan puat sementara ut kecil untuk digerakkan dari muka ke belakang membedakan benang atas dan bawah. Ut besar berada di depan pauf, sementara ut kecil di belakangnya.
Belakangan peralatan di atas bertambah dengan beberapa alat pelengkap, di antaranya:
- Sial, berbentuk lidi kecil dari bambu, yang berfungsi untuk mengatur motif. Biasanya sial dipasang lebih dari satu. Sial berbentuk batang pipih dengan ujung agak runcing. Sial dipasang di depan ut besar. Selain berfungsi membuat motif, sial juga menahan ut besar agar tetap di tempat- nya, juga untuk memisahkan benang atas dan bawah.
- Lilin (ninik), alat ini digunakan untuk merapikan benang ketika benang mulai mengembang kembali menjadi kapas dan menjaga agar tenunan tidak lengket sehingga mudah dipisahkan.
Sumber:
- ↑ 1.00 1.01 1.02 1.03 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09 1.10 1.11 1.12 1.13 1.14 1.15 1.16 1.17 1.18 Maimunah, Siti. 2017. Tenun dan Para Penjaga Identitas. Jakarta: Poros Photo, Perhimpunan Lawe, Organisasi Attaemamus (OAT), dan GEF SGP Indonesia
- ↑ Proses pemintalan kapas menjadi benang oleh Mama Bendelina Buky - Ketua Kelompok Tenun Ikat Tewuni Rai Desa Peddaro, Sabu Raijua, NTT
- ↑ 3.0 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 Palupi, Ning. 2023. Puan Maestro_Para Perempuan Penenun Kain Biboki. Yogyakarta: Terasmitra
